Jika kebijakan pertahanan negara disusun tanpa keterlibatan masyarakat, maka kecurigaan terhadap kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan semakin besar.
Gelombang Protes dari Masyarakat
Pengesahan revisi UU TNI langsung disambut dengan demonstrasi dari berbagai elemen masyarakat.
Mahasiswa dan kelompok sipil turun ke jalan menolak aturan baru yang dianggap mengancam supremasi sipil. Mereka khawatir revisi ini hanya menjadi alat bagi militer untuk kembali menguasai sektor-sektor strategis di pemerintahan.
Selain itu, berbagai lembaga swadaya masyarakat juga menyerukan agar revisi UU TNI dikaji ulang.
Baca Juga: Ini Bahaya Revisi RUU TNI yang Diendus Imparsial Ambisi Besar Prabowo Kembalikan Dwi Fungsi ABRI
Mereka mendesak pemerintah untuk membuka kembali ruang diskusi publik agar masyarakat bisa memberikan masukan terkait kebijakan yang berpotensi mengubah dinamika demokrasi di Indonesia.
Pemerintah: Ini untuk Kepentingan Nasional
Di sisi lain, pemerintah tetap bersikeras bahwa revisi UU TNI dilakukan untuk kepentingan nasional.
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyatakan bahwa perubahan ini diperlukan agar militer dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman dan tantangan geopolitik.
Namun, argumen ini belum cukup untuk meredam kekhawatiran publik. Masyarakat sipil tetap menuntut agar revisi UU TNI tidak hanya berorientasi pada kepentingan elite, tetapi juga mempertimbangkan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Revisi UU TNI, Reformasi atau Kemunduran?
Evolusi RUU TNI dari usulan hingga pengesahan menunjukkan bahwa isu pertahanan tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai demokrasi.
Proses legislasi yang minim transparansi hanya akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan DPR.