Kritik keras muncul karena aturan ini dianggap membuka jalan bagi kembalinya dwifungsi militer yang pernah dominan pada masa Orde Baru.
Anggota Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin, menepis kekhawatiran tersebut dengan menyatakan bahwa revisi ini tidak akan mengembalikan peran militer seperti dulu.
Namun, kelompok masyarakat sipil tetap mempertanyakan motif di balik perubahan ini dan menuntut jaminan bahwa demokrasi tetap terjaga.
Perpanjangan Usia Pensiun: Solusi atau Hambatan?
Revisi UU TNI juga mengatur perpanjangan usia pensiun prajurit hingga 65 tahun. Keputusan ini memicu perdebatan mengenai efektivitas kebijakan tersebut.
Sebagian pihak menilai bahwa kebijakan ini dapat menghambat regenerasi kepemimpinan di tubuh TNI dan mengurangi kesempatan bagi perwira muda untuk naik jabatan.
Di sisi lain, pemerintah berargumen bahwa perpanjangan usia pensiun diperlukan untuk mempertahankan pengalaman dan kompetensi para prajurit senior.
Namun, para pengamat pertahanan menilai bahwa kebijakan ini harus dibarengi dengan reformasi struktural agar tidak menjadi beban bagi institusi militer.
Transparansi Legislasi Dipertanyakan
Proses pembahasan RUU TNI juga menjadi sorotan karena dilakukan secara tertutup dan terburu-buru.
Baca Juga: Di Tengah Anjloknya IHSG, RUU TNI Bakal Disahkan Pekan Ini, Seruan Tolak RUU TNI Kembali Bergema!
Rapat-rapat berlangsung di hotel-hotel mewah tanpa akses bagi publik maupun media.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritik keras cara DPR dan pemerintah dalam menyusun undang-undang ini.
Menurut koalisi tersebut, minimnya transparansi dan partisipasi publik menimbulkan risiko besar bagi demokrasi.