HUKAMANEWS - Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menimbulkan kontroversi di berbagai kalangan.
Proses legislasi yang berlangsung cepat dan tertutup menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi militer seperti era Orde Baru.
Salah satu poin utama yang dipersoalkan adalah perluasan peran militer di ranah sipil.
Bagaimana dampak RUU TNI terhadap demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia?
DPR Resmi Sahkan Revisi UU TNI, Kritik Muncul dari Berbagai Pihak
Pada 20 Maret 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah resmi mengesahkan RUU TNI menjadi undang-undang dalam rapat paripurna di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.
Proses pembahasan berlangsung maraton dengan rapat-rapat tertutup, menimbulkan kritik dari berbagai pihak terkait transparansi.
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan bahwa pembahasan dilakukan secara konstruktif meskipun dalam waktu singkat.
Namun, pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Richo Andi Wibowo, menilai bahwa proses legislasi ini cacat karena draf revisi tidak dapat diakses publik.
Ketiadaan akses ini menimbulkan kecurigaan mengenai tujuan sebenarnya dari revisi tersebut.
Polemik Pasal 47: Militer Kembali ke Ranah Sipil?
Salah satu poin yang paling disorot dalam revisi UU TNI adalah perubahan pada Pasal 47.
Pasal ini membuka peluang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil di kementerian dan lembaga negara.