HUKAMANEWS - Sistem Coretax yang digadang-gadang menjadi tonggak baru dalam modernisasi perpajakan justru menuai polemik besar.
Dengan nilai investasi mencapai Rp1,3 triliun, sistem ini mengalami berbagai kendala yang menyebabkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus kembali mengaktifkan sistem lama, DJP Online.
Kegagalan ini berpotensi menyeret Direktur Jenderal (Dirjen Pajak) Suryo Utomo ke dalam pusaran sanksi berat, mulai dari pencopotan jabatan hingga ancaman pidana.
Baca Juga: Waspada HP Disadap Pinjol Ilegal, Cek 5 Ciri Ini dan Cara Mengatasinya
Sistem Coretax Gagal Total, Apa yang Salah?
Kegagalan implementasi Coretax tak bisa dianggap enteng.
Direktur Kebijakan Publik Center of Economics and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, menegaskan bahwa sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, kegagalan layanan publik dapat berujung pada sanksi administrasi bagi penyelenggaranya.
Dalam kasus ini, Dirjen Pajak dan jajaran terkait bisa dikenai teguran hingga pemecatan jika terbukti ada unsur kelalaian.
Lebih serius lagi, pasal 55 dan 56 UU yang sama menyebutkan potensi sanksi pidana dan denda jika kegagalan layanan publik mengakibatkan kerugian negara.
Dengan kata lain, bukan hanya jabatan Suryo Utomo yang terancam, tetapi juga kemungkinan proses hukum jika ditemukan indikasi maladministrasi atau penyalahgunaan wewenang dalam proyek Coretax.
Kesalahan Fatal: Coretax Diadaptasi dari Sistem Pajak Austria
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan, menyoroti akar masalah dalam proyek Coretax.
Menurutnya, ada kesalahan fundamental dalam perencanaan dan implementasi sistem ini.
Dalam pengembangan perangkat lunak berskala besar, seharusnya ada tiga tahap utama yang diikuti: perumusan proses bisnis, penyusunan regulasi, dan pengembangan teknologi.