Namun, Romli berpendapat sebaliknya. Ia menyebut Harvey Moeis bukanlah penyelenggara negara ataupun pengambil kebijakan di PT Timah.
"Harvey hanya terlibat dalam kontrak bisnis yang sah dengan masyarakat sekitar tambang. Namun, ia justru dijerat dengan Pasal 55 KUHP sebagai pihak yang turut serta melakukan tindak pidana," jelasnya.
Selain itu, Romli menekankan bahwa vonis yang dijatuhkan tidak mempertimbangkan fakta persidangan secara utuh.
Ia menyebut uang pengganti Rp420 miliar yang dibebankan kepada Harvey Moeis tidak memiliki dasar bukti yang jelas.
Baca Juga: Sopir Truk Loncat Sebelum Tabrakan, Kecelakaan Maut di GT Ciawi Tuai Pertanyaan Publik
Helena Lim dan Vonis yang Dipertanyakan
Helena Lim, yang dikenal sebagai Crazy Rich Pantai Indah Kapuk (PIK), juga mendapat hukuman yang diperberat.
Helena yang hanya berperan sebagai pemilik money changer dikenakan pidana tambahan berupa uang pengganti Rp900 juta.
"Helena tidak memiliki niat jahat (mens rea) untuk menimbulkan kerugian negara. Bahkan angka kerugian Rp317 triliun yang diklaim dalam kasus ini pun masih dalam perdebatan," kata Romli.
Seharusnya Masuk Ranah Perdata, Bukan Korupsi
Sejalan dengan Romli, pakar hukum acara dari Universitas Indonesia, Yoni Agus Setyono, menilai kasus ini lebih tepat diselesaikan melalui jalur perdata.
Baca Juga: Helena Lim dan Harvey Moeis Kena Vonis Lebih Berat, Crazy Rich PIK Terancam 10 Tahun Penjara!
Menurutnya, Undang-Undang Lingkungan Hidup Tahun 2009 telah mengatur mekanisme gugatan perdata untuk penyelesaian sengketa lingkungan, yang lebih relevan dengan perkara ini.
"Jika benar ada dampak lingkungan dari aktivitas tambang, maka seharusnya pemerintah menggugat secara perdata, bukan memaksakan pasal tindak pidana korupsi yang tidak relevan," kata Yoni.
Ia juga menyoroti bahwa nilai kerugian negara dalam kasus ini masih belum memiliki dasar yang kuat.