Pemagaran laut di PIK 2 menjadi isu besar karena dianggap melanggar hak masyarakat untuk mengakses sumber daya laut.
Proyek ini diduga melibatkan pengembang besar, Agung Sedayu Group, yang membantah keterlibatan mereka.
Melalui kuasa hukumnya, Muannas Alaidid, pihak Agung Sedayu Group menegaskan bahwa mereka tidak terlibat dalam pemasangan pagar laut tersebut.
“Hingga saat ini, tidak ada bukti atau fakta hukum yang mengaitkan Agung Sedayu Group dengan tindakan tersebut,” jelas Muannas.
Pernyataan ini tidak serta-merta meredakan kecurigaan. Firman Soebagyo, anggota Komisi IV DPR, menilai pengusutan kasus ini berjalan lamban.
Ia menegaskan, DPR dan pemerintah seharusnya bertindak lebih cepat untuk menyelesaikan masalah yang sangat urgen ini.
Masyarakat pesisir yang bergantung pada laut untuk mencari nafkah menjadi pihak yang paling dirugikan.
Pemagaran laut ini menghalangi akses nelayan ke sumber daya laut, yang berdampak langsung pada pendapatan mereka.
Selain itu, aktivitas pembangunan di kawasan PIK 2 juga menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti penimbunan sungai di Kronjo, yang menghilangkan habitat ikan.
Pemerintah pusat diharapkan segera mengambil tindakan tegas. Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa sumber daya alam, termasuk laut dan tanah, harus dikelola untuk kemaslahatan rakyat.
Namun, dalam praktiknya, kasus seperti ini menunjukkan lemahnya implementasi prinsip tersebut.
Kasus pemagaran laut di PIK 2 adalah cerminan dari kompleksitas antara pembangunan dan keberlanjutan. Di satu sisi, pembangunan kawasan elit seperti PIK 2 menjanjikan modernisasi.
Namun, di sisi lain, dampaknya pada masyarakat lokal dan lingkungan tidak bisa diabaikan.