Bentuk-bentuk serangan tersebut di antaranya adalah doxing, perampasan aset, penganiayaan, perburuan, penangkapan sewenang-wenang, kriminalisasi, penghilangan paksa dalam waktu singkat, hingga penghalang-halangan pendampingan hukum.
9. Proyek Strategis Nasional merampas ruang hidup rakyat.
Banyak langkah korup yang dilakukan oleh rezim Jokowi untuk memperlancar apa yang hari ini biasa kita sebut sebagai Proyek Strategis Nasional.
Pertama, Jokowi membuat pondasi kebijakan: Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2015 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, PP No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan segala revisinya, serta Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.
Kebijakan ini dalam banyak praktek bisnis, dijadikan sebagai stempel untuk memuluskan proses pembebasan lahan. Rempang Eco City, Wadas, dan Pulau Komodo adalah contohnya.
Bahkan, Majelis Rakyat Luar Biasa 2024 lalu mencatat bahwa, Jokowi melegitimasi deforestasi 2 juta hektar hutan untuk proyek PSN ketahanan pangan.
10. Nepotisme kekuasaan
Di akhir masa jabatannya, Jokowi mencoba segala cara dengan memobilisasi polisi, menteri, dan para relawannya, serta menggunakan fasilitas negara (bantuan sosial) untuk mengamankan posisi anaknya memenangkan kursi Wakil Presiden dalam Pilpres 2024.
Tidak berhenti di situ, Jokowi juga terlihat mensponsori menantu, dan anaknya maju dalam pemilihan kepala daerah dengan sekali lagi mencoba untuk merevisi Undang-undang Pilkada.
Bobby Nasution (menantu Jokowi) yang hendak maju menjadi calon Gubernur Sumatera Utara; Ahmad Luthfi (geng Solo) hendak menjadi calon Gubernur Jawa Tengah; Sendi Ferdiansyah (sekretaris pribadi Iriana Jokowi) hendak menjadi Wali Kota Bogor; dan Khofifah Indar (timses Prabowo-Gibran) sebagai calon Gubernur Jawa Timur.
Upaya penempatan orang-orang terdekat Jokowi seperti ini, dibarengi dengan santernya usulan percepatan pelaksanaan Pilkada 2024, dengan merevisi UU Pilkada.
Melalui surat presiden, Jokowi meminta bahwa revisi Undang-Undang Pilkada, di antaranya memuat dimajukannya pelaksanaan Pilkada dari jadwal awalnya, yaitu pada bulan November 2024, menjadi September.
Artinya, satu bulan sebelum Jokowi lengser keprabon.
Baca Juga: TOP 7 Rekomendasi Smartwatch Anak Murah Terbaik 2025, Aman dan Canggih Tanpa Membebani Kantong!
YLBHI melihat adanya beberapa indikasi tipe korupsi yang dilakukan oleh Jokowi, yang meliputi; Political bribery yang melibatkan pembuatan Undang-undang yang disesuaikan dengan kepentingan pemberi kekuasaan ini terlihat dalam upaya perombakan kebijakan yang melarang rangkap jabatan; Political kickbacks yang 2 merupakan sistem kontrak yang menguntungkan pengusaha dan pemangku kebijakan, ini terlihat jelas dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja;
Election fraud yang berkaitan dengan kecurangan saat pemilihan umum, ini dilakukan dengan memobilisasi para menteri dan kepolisian untuk terlibat dalam kampanye Pilpres 2024; Corrupt Campaign Practice, dimana seseorang menggunakan fasilitas-fasilitas negara untuk kepentingan kampanye politiknya, terlihat dalam pengadaan bantuan sosial dan pembagiannya dilakukan menjelang Pilpres 2024; Discretionary corruption membuat kebijakan-kebijakan yang mementingkan kepentingan pribadi dengan kekuasaan yang dimiliki, terlihat ketika Jokowi berupaya untuk melanjutkan kekuasaan 3 periode dan upaya untuk memajukan waktu pelaksanaan Pilkada 2024;