“Mamaku cuma ingin aku pulang sebelum dia meninggal,” ujar Helena dalam bisikan kepada pengacaranya, menahan tangis. Kalimat itu terasa seperti sebuah harapan yang terhempas di tengah riuh rendah proses hukum.
Tangisan Hoa Lien pecah saat hakim membacakan pertimbangan putusan.
Suaranya terdengar lirih tetapi menyayat hati, “Tukar saja pakai nyawa saya.” Kalimat itu menggetarkan seluruh ruang sidang.
Beberapa saat kemudian, ia tak sadarkan diri, memaksa sidang dihentikan sementara.
Petugas dan pihak keluarga dengan cepat membawanya keluar dari ruang sidang. Suasana menjadi sangat emosional, membuat banyak orang yang hadir ikut larut dalam kesedihan.
Menurut Andi, apa yang dialami Helena dan keluarganya adalah potret dilema dalam penegakan hukum.
“Helena hanya pedagang valuta asing, tetapi ia harus ikut menanggung akibat dari tindakan korupsi tata niaga timah yang sebenarnya lebih kompleks,” jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa ada harapan besar agar kasus ini menjadi pelajaran penting bagi proses hukum di Indonesia, terutama dalam memastikan semua pihak yang bersalah ditangani dengan adil.
Kasus Helena Lim bukan sekadar cerita tentang keadilan hukum. Ini adalah kisah tentang cinta seorang ibu yang berjuang hingga titik terakhir demi anaknya.
Baca Juga: Review TECNO Megabook K16S, Laptop Murah, Kencang, Rasa Premium
Momen histeris di ruang sidang itu menjadi pengingat bahwa hukum, sekeras apa pun, tak dapat menghapus emosi manusia yang terdalam.
Sebaliknya, kasus ini menjadi cerminan bagaimana keadilan dan kemanusiaan sering kali bertemu di persimpangan yang rumit.
Dalam setiap keputusan, ada hati yang terluka dan doa yang tak terjawab.
Namun, semoga cerita ini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa keadilan tak hanya soal aturan, tetapi juga rasa kemanusiaan.***