"Gajimu itu dari 'Rakyat Jelata', kenapa sekelas jubir istana memilih diksi yang enggak 'ngewongke' (memanusiakan)," ujar akun Nuno Rahman.
Dikotomi "Rakyat Kecil" dan "Rakyat Jelata"
Penggunaan kata "rakyat jelata" memunculkan perdebatan soal sensitivitas bahasa yang digunakan pejabat publik.
Sebagian pihak menganggap bahwa istilah ini menunjukkan ketimpangan relasi antara pejabat negara dan masyarakat.
"Rakyat jelata itu konotasinya merendahkan. Di negara demokrasi, pejabat adalah pelayan rakyat, bukan atasannya," ujar seorang pengamat politik dalam diskusi di televisi.
Namun, ada pula yang berpendapat bahwa istilah tersebut mungkin digunakan tanpa maksud buruk, meski tetap tidak bijaksana.
Kejadian ini memunculkan seruan agar Istana Kepresidenan lebih berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan.
Banyak yang berharap agar para pejabat publik memahami pentingnya empati dalam setiap ucapan, terutama ketika berbicara tentang masyarakat kecil.
Hingga artikel ini ditulis, belum ada permintaan maaf atau klarifikasi tambahan dari Adita Irawati terkait penggunaan diksi "rakyat jelata."
Namun, kejadian ini menjadi pelajaran penting bagi pemerintah dalam menjaga komunikasi publik yang lebih humanis dan inklusif.
Mungkinkah ini menjadi momentum bagi para pejabat untuk lebih peka terhadap pilihan kata mereka? Hanya waktu yang bisa menjawab.***