“Seharusnya, guna memenuhi kebutuhan gula dalam negeri, yang diimpor adalah GKP secara langsung oleh BUMN, bukan GKM yang diolah swasta,” ungkap Harli.
Situasi semakin runyam ketika gula yang seharusnya dijual dengan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp13.000 per kilogram justru dijual lebih mahal di pasaran oleh distributor swasta, mencapai Rp16.000 per kilogram.
PT PPI yang terlibat dalam pengadaan ini menerima fee sebesar Rp105 per kilogram dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengolah GKM, tetapi tetap saja kerugian negara yang diakibatkan mencapai Rp400 miliar.
Menurut Harli, kerugian ini berasal dari keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara melalui PT PPI.
Tanpa rekomendasi dan koordinasi yang seharusnya dilakukan sesuai regulasi, proses impor ini berujung pada potensi korupsi dan kerugian finansial negara yang signifikan.
Kasus ini membuka mata publik mengenai pentingnya transparansi dan pengawasan ketat dalam kebijakan impor bahan pokok.
Kebijakan impor gula yang seharusnya menstabilkan harga malah berujung pada kenaikan harga yang merugikan masyarakat serta kerugian keuangan negara yang cukup besar.
Hingga saat ini, Kejaksaan Agung terus menyelidiki kasus ini lebih lanjut, termasuk kemungkinan keterlibatan pihak lain yang mendukung kebijakan impor gula yang bermasalah ini.
Melihat kronologi kasus ini, semakin jelas bahwa pengambilan keputusan tanpa koordinasi dan rekomendasi yang memadai dapat membawa dampak negatif pada perekonomian negara serta kesejahteraan masyarakat.
Kejaksaan Agung berkomitmen untuk menuntaskan kasus ini guna menegakkan keadilan dan mengembalikan kerugian negara.
Kasus ini diharapkan menjadi pembelajaran berharga agar pengawasan dalam kebijakan impor bahan pangan dapat diperketat di masa mendatang, demi mencegah terulangnya praktik yang merugikan negara dan masyarakat.***