ZR diduga terlibat dalam skenario suap bersama seorang pengacara bernama LR, yang memintanya untuk melobi para hakim agung agar memutuskan Ronald Tannur tidak bersalah dalam kasus kasasi.
LR, menurut penyidik, berjanji memberikan kompensasi sebesar Rp 5 miliar bagi hakim yang menangani kasus tersebut, sementara ZR dijanjikan mendapat "fee" senilai Rp 1 miliar.
Rincian yang ditemukan penyidik juga mengungkapkan bahwa uang suap sebesar Rp 5 miliar ini diperuntukkan bagi hakim agung berinisial S, A, dan S, yang menangani putusan kasasi Ronald Tannur.
Baca Juga: Meski Hormati Keputusan PTUN yang Tolak Gugatan PDIP ke KPU, Gayus Lumbuun Nilai Banyak Keganjalan
Namun, menariknya, ZR menolak menerima uang dalam bentuk Rupiah dan menyarankan agar uang tersebut dikonversi menjadi mata uang asing di sebuah money changer di Blok M, Jakarta Selatan.
Abdul menekankan bahwa, sejauh ini, uang tersebut belum diserahkan oleh ZR kepada para hakim agung terkait.
Hal ini menambah kompleksitas kasus, mengingat jumlah uang yang ditemukan sangat besar namun belum jelas alur distribusinya.
Ronald Tannur sendiri akhirnya divonis lima tahun penjara di tingkat kasasi, lebih ringan dari tuntutan yang diajukan jaksa.
Temuan ini memicu kembali perdebatan mengenai praktik perantara atau "makelar kasus" di tubuh peradilan Indonesia, di mana oknum-oknum tertentu diduga memiliki akses dan kemampuan untuk "mengatur" putusan hukum demi keuntungan finansial.
Kasus ini menjadi sorotan publik dan menambah panjang daftar kontroversi di tubuh Mahkamah Agung.
Dalam beberapa tahun terakhir, praktik perantara dalam kasus-kasus besar semakin sering terungkap, mengindikasikan perlunya reformasi di lembaga peradilan tertinggi di Indonesia.
Kejagung berjanji akan terus menggali informasi terkait keterlibatan pihak lain dan melacak jejak aliran dana dalam kasus ini.
Dengan adanya uang tunai bernilai fantastis di tangan seorang pensiunan pejabat tinggi, publik berharap agar proses hukum berjalan transparan dan adil.