Jangan sampai Indonesia menjadi negara di mana hanya kekuatan fisik yang berbicara, sementara intelektualitas dan kebebasan berpendapat dibungkam oleh preman-preman jalanan.
Pertanyaan terbesar dari insiden ini adalah: siapa yang berada di balik semua ini? Guntur Romli dan Din Syamsuddin sama-sama menuntut penyelidikan mendalam.
Baca Juga: Kehebatan Redmi Buds 6, TWS Premium dengan Dual Driver, ANC, dan Baterai Tahan Lama Hingga 42 Jam!
Sebab, aksi seperti ini tidak bisa terjadi tanpa ada yang mengorganisir dan memberi instruksi.
Di sisi lain, masyarakat juga harus lebih waspada. Premanisme yang mulai merambah ke ruang-ruang diskusi publik menunjukkan bahwa kekerasan dan tekanan fisik sedang menjadi senjata baru untuk membungkam suara-suara kritis. Jangan biarkan fenomena ini berlarut-larut.
Mungkin insiden ini terlihat sebagai kasus premanisme biasa. Namun, dampaknya bisa sangat besar.
Jika aksi ini tidak diusut tuntas, jangan kaget jika di masa depan diskusi-diskusi kebangsaan atau acara-acara serupa lainnya akan terus menjadi sasaran kekerasan.
Baca Juga: Kemenangan Pertama Jorge Martin Sejak 9 Balapan Terakhir di Sirkuit Internasional Mandalika
Indonesia membutuhkan ruang bebas untuk bertukar pikiran, bukan tempat bagi preman.
Demokrasi seharusnya menjadi panggung untuk adu argumen, bukan adu fisik. Sebagai bangsa yang besar, kita harus berani berkata: "Stop premanisme!"
Dengan begitu, kita tidak hanya menjaga keamanan diskusi, tetapi juga menjaga marwah demokrasi itu sendiri.***