Harli juga menambahkan bahwa Fandy dijerat dengan berbagai pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Salah satu pasal yang diancam adalah Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 juncto Pasal 18, yang memuat konsekuensi hukum berat bagi para pelaku korupsi.
Setelah berkas tahap dua dilimpahkan ke jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, proses hukum terhadap Fandy Lie semakin dekat menuju pengadilan.
“Kejaksaan Agung telah melaksanakan serah terima tanggung jawab tersangka dan barang bukti (tahap II) atas tersangka FL kepada jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan,” ujar Harli.
Penyerahan ini menandai langkah penting dalam upaya menuntaskan kasus ini.
Hingga saat ini, Kejagung telah melimpahkan sebanyak 19 berkas perkara ke paspor umum. Jumlah tersangka dalam kasus ini juga terus bertambah, kini mencapai 23 orang.
Jumlah ini menunjukkan bahwa kasus ini bukanlah skandal kecil, melainkan sebuah korupsi jaringan yang melibatkan banyak pihak.
Kasus korupsi yang melibatkan Fandy Lie tentu saja membawa dampak yang luas.
Bukan hanya terhadap PT Timah Tbk sebagai perusahaan yang dirugikan, tetapi juga terhadap citra Sriwijaya Air yang selama ini dikenal sebagai salah satu maskapai besar di Indonesia.
Keterlibatan keluarga pemilik dalam kasus korupsi sebesar ini dapat mempengaruhi reputasi perusahaan di mata publik.
Selain itu, kasus ini juga menjadi refleksi bagi sistem pengawasan dan penegakan hukum di Indonesia.
Bagaimana mungkin korupsi dengan nilai sebesar ini bisa terjadi selama bertahun-tahun tanpa adanya deteksi dari pihak yang berwenang?