Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terkait dengan syarat pencalonan pada pilkada, yang seharusnya menjadi acuan utama dalam penyusunan RUU Pilkada ini.
Namun, proses legislasi yang terkesan tergesa-gesa ini membuat banyak pihak meragukan keabsahan dan keadilan dari undang-undang yang akan dihasilkan.
Kekecewaan terhadap DPR semakin mendalam ketika Rapat Paripurna Ke-3 DPR RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2023—2024, yang seharusnya menjadi momen pengesahan RUU Pilkada, batal digelar pada Kamis pagi.
Alasannya, jumlah peserta rapat tidak memenuhi kuorum, sehingga pengesahan undang-undang tersebut harus dijadwal ulang. Situasi ini semakin mempertegas anggapan publik bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam proses pembahasan RUU ini.
Menghadapi situasi yang berpotensi menjadi lebih kacau, kepolisian telah menyiapkan sebanyak 2.975 personel untuk mengantisipasi unjuk rasa di dua kawasan utama, yakni Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) dan kompleks MPR/DPR RI.
Jumlah personel yang cukup besar ini terdiri dari berbagai satuan tugas, termasuk satuan tugas daerah (satgasda) sebanyak 1.881 personel, satuan tugas resor (satgasres) sebanyak 210 personel, serta pasukan bawah kendali operasi (BKO) dari TNI dan pemerintah daerah yang berjumlah 884 personel.
Kehadiran pasukan sebanyak ini menunjukkan betapa seriusnya aparat keamanan dalam menghadapi potensi konflik di lapangan.
Selain untuk menjaga keamanan, langkah ini juga bertujuan untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat yang berada di sekitar lokasi aksi.
Namun, meski upaya pengamanan telah diperkuat, situasi di lapangan tetap membutuhkan kewaspadaan tinggi.
Ketegangan antara massa aksi dan aparat kepolisian yang bertugas berpotensi memicu bentrokan, jika tidak ditangani dengan hati-hati.
Oleh karena itu, berbagai langkah pengamanan telah disiapkan, termasuk penggunaan kendaraan taktis dan barikade manusia yang terus diperkuat seiring dengan berjalannya aksi.***