Dengan adanya syarat yang lebih inklusif, partai-partai politik diharapkan akan lebih selektif dan bertanggung jawab dalam mengusung calon-calon terbaik mereka.
Ini juga memberikan kesempatan bagi partai-partai non-parlemen untuk turut serta dalam pilkada, sehingga tidak ada suara rakyat yang terbuang sia-sia.
"Putusan ini juga memberi kesempatan bagi partai-partai non-parlemen untuk ikut berpartisipasi dalam pilkada. Dengan demikian, tidak ada suara rakyat yang hilang. Bagi partai-partai yang ada di Parlemen, tentu ini akan mendorong proses kaderisasi dan rekrutmen calon yang lebih baik," ujar Deddy.
Perubahan Ambang Batas oleh MK
Putusan Mahkamah Konstitusi ini muncul setelah adanya gugatan dari Partai Buruh dan Partai Gelora yang mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
MK menyatakan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Dalam putusannya, MK menekankan bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menghendaki pemilihan kepala daerah yang demokratis dengan memberikan kesempatan kepada semua partai politik peserta pemilu yang memiliki suara sah untuk mengajukan bakal calon kepala daerah.
Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan kemungkinan munculnya calon tunggal yang dapat mengancam proses demokrasi yang sehat.
Penilaian Konstitusionalitas Pasal 40 UU Pilkada
MK juga menilai bahwa pengaturan ambang batas perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan pasangan calon kepala daerah harus diselaraskan dengan syarat dukungan calon perseorangan.
Jika persyaratan bagi partai politik lebih besar dibandingkan dengan jalur perseorangan, maka hal tersebut dianggap tidak adil dan tidak konstitusional.
"Oleh karena itu, syarat persentase partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon harus pula diselaraskan dengan syarat persentase dukungan calon perseorangan."