HUKAMANEWS - Pada Kamis lalu, tiga pejabat Universitas Udayana, I Nyoman Putra Sastra, I Made Yusnantara, dan I Ketut Budiartawan, menghirup udara kebebasan setelah divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Keputusan ini tentu saja mengejutkan banyak pihak, terutama mengingat seriusnya dakwaan terhadap mereka terkait dugaan korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI).
Dalam amar putusan yang dibacakan, Majelis Hakim menyatakan bahwa ketiga terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana, baik dalam dakwaan pertama maupun dakwaan kedua.
Namun, dakwaan yang dilontarkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) bukanlah hal sepele. Mereka didakwa dengan Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 ayat 1 huruf a dan b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pertimbangan hakim menjadi sorotan utama dalam kasus ini.
Meskipun JPU tegas menuntut pidana penjara bagi ketiganya, hakim menilai bahwa tidak terbukti adanya perbuatan secara sengaja dan melawan hukum yang dilakukan para terdakwa.
Dalam dakwaan pertama, JPU menekankan Pasal 12 huruf e UU Tipikor yang mencakup perbuatan melawan hukum memaksa seseorang membayar sejumlah uang.
Namun, hakim berpendapat berbeda, menyatakan bahwa mahasiswa yang mendaftar secara mandiri di Universitas Udayana secara sadar telah memilih jalur ini, yang secara umum diketahui memerlukan sumbangan dana pengembangan institusi.
Putusan ini memicu pro dan kontra di masyarakat.
Beberapa pihak mendukung keputusan hakim, sementara yang lain menyatakan ketidaksetujuan.
Jelas, kasus ini menuai kontroversi dan menimbulkan pertanyaan tentang integritas lembaga peradilan terkait penegakan hukum terhadap kasus korupsi di Indonesia.
Meskipun tuntutan JPU sangat keras, keputusan hakim untuk membebaskan para terdakwa menjadi bukti bahwa hukum memiliki dinamika dan kompleksitasnya sendiri.