Meski tampak sederhana, persoalan “dibully” yang dirasakan Gibran bisa berimbas pada kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan.
Beberapa pengamat menilai, semestinya pemerintah membedakan antara kritik konstruktif dengan serangan pribadi.
Langkah Jokowi melapor kepada Prabowo bisa pula dibaca sebagai upaya untuk menormalisasi dinamika politik dan mencegah konflik persepsi di antara pendukung masing-masing.
“Ini bukan sekadar soal Gibran dibully, tapi juga bagaimana menjaga wibawa pemerintahan di tengah era digital yang hiperreaktif,” tutur Adian.
Pertemuan Jokowi–Prabowo mungkin hanya berlangsung beberapa jam, namun pesan yang tersirat cukup dalam: politik Indonesia tengah memasuki fase baru di mana empati, komunikasi, dan citra digital memainkan peran penting.
Publik kini menuntut pejabat tidak hanya kuat di panggung pemerintahan, tetapi juga tangguh menghadapi gelombang opini di media sosial.
Dan bagi Gibran, ujian ini bisa menjadi batu loncatan penting dalam perjalanan politiknya,antara bertahan sebagai simbol regenerasi, atau tumbang oleh derasnya arus persepsi publik.***
Artikel Terkait
Teluk Jakarta Jadi Saksi, Prajurit Taifib Praka Marinir Zaenal Mustaqim Gugur Saat Aksi Penerjunan di HUT ke 80 TNI
Tarik-Ulur Anggaran MBG: Purbaya Siap Pangkas, Luhut Nilai Serapan Sudah Membaik
Temuan Mengejutkan di Balik Puing Reruntuhan Al Khoziny: Mobil Mercy Ringsek, Mimbar Musala Berdiri Kokoh
Leony Ungkap Awal Mula Viral soal Anggaran Tangsel: Saya Cuma Curhat, Kok Jadi Heboh?
Fenomena Bola Api Misterius di Langit Cirebon dan Majalengka, Warga Panik, BRIN Ungkap Kemungkinan Meteor