“Kalau tidak hati-hati, program ini bisa berubah jadi proyek bagi-bagi honor. Fokusnya harus tetap pada perbaikan gizi, bukan memperluas mata rantai insentif,” kata analis kebijakan publik, Dwi Ananta.
Kritik lain datang dari kalangan guru sendiri. Beberapa di antaranya merasa beban tambahan tidak sebanding dengan honor yang diberikan.
“Uang Rp100 ribu memang lumayan, tapi tanggung jawabnya berat. Salah data atau distribusi macet, guru yang disalahkan,” ungkap Ahmad, guru honorer di Bekasi.
Meski demikian, jika dikawal dengan pengawasan ketat, keterlibatan guru dan kader lokal bisa jadi solusi memperbaiki distribusi MBG yang selama ini bermasalah. Sebab, mereka yang paling paham kondisi riil di lapangan.
Pada akhirnya, yang diuji bukan sekadar efektivitas insentif, melainkan komitmen pemerintah menjadikan MBG benar-benar sebagai program perbaikan gizi nasional, bukan proyek yang sarat titip-titip honor.***