Pergeseran ini juga berisiko memudarkan prinsip *vox populi, vox dei* (suara rakyat adalah suara Tuhan), yang selama ini menjadi landasan demokrasi langsung.
Para pengamat politik menilai bahwa kajian mendalam harus mencakup dampak terhadap partisipasi rakyat dalam politik, legitimasi kepala daerah, dan potensi konflik kepentingan.
Selain itu, wacana ini juga dianggap sebagai ujian terhadap komitmen pemerintah dan partai politik dalam menjaga kualitas demokrasi di Indonesia.
Sebagai negara yang dikenal dengan keberagaman budaya dan kepentingannya, demokrasi langsung sering kali menjadi alat untuk menyuarakan aspirasi masyarakat di daerah-daerah terpencil.
Menghapus mekanisme ini berarti menghapus hak rakyat untuk terlibat langsung dalam proses politik di tingkat daerah.
Sugiyanto menegaskan, perubahan sistem ini harus melalui diskusi publik yang melibatkan semua elemen masyarakat.
"Jika kedaulatan rakyat hilang, maka demokrasi kita hanya akan menjadi ilusi," pungkasnya.
Bagaimana kelanjutan dari isu ini? Apakah Pilkada melalui DPRD benar-benar solusi atau justru langkah mundur dalam demokrasi Indonesia?
Masyarakat tentu berharap agar keputusan yang diambil tetap mengedepankan suara rakyat sebagai prioritas utama.***
Artikel Terkait
Kasus Korupsi Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, KPK Gerebek 13 Lokasi, Bukti Baru Terkuak, Pilkada 2024 Jadi Sorotan Utama!
Pramono-Rano Raih Kemenangan Pilkada Jakarta 2024, KPU Tegaskan Tanpa PSU
RIDO Legawa! Tak Gugat Hasil Pilkada, Pramono Anung-Rano Karno Dapat Ucapan Selamat dan Janji Pengawasan
Pilkada, Mahar Politik, dan Mafia Demokrasi
275 Gugatan Pilkada 2024 Menunggu Putusan yang Menentukan, Apakah MK Bisa Jadi Penentu Keadilan yang Diandalkan?