HUKAMANEWS — Di balik geliat perdagangan kulit reptil dunia, Indonesia mencatat angka ekspor yang mencengangkan. Tahun 2024, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan kuota ekspor 476.000 ekor biawak air (Varanus salvator) — menjadikan Indonesia salah satu eksportir kulit biawak terbesar di dunia.
Namun, di tengah keuntungan ekonomi yang menggoda, para ahli mengingatkan ancaman serius terhadap keseimbangan alam.
Menurut data buku kuota KLHK 2024, dari total 476.000 ekor biawak yang boleh diperdagangkan, 468.560 ekor di antaranya dialokasikan khusus untuk ekspor kulit. Kuota tersebut tersebar di 18 provinsi, dengan Sumatera Utara menjadi wilayah dengan alokasi terbesar.
“Pemanfaatan biawak di Indonesia tidak hanya untuk ekspor. Penelitian mahasiswa IPB menunjukkan, daging dan minyak biawak juga digunakan untuk konsumsi dan obat tradisional. Di beberapa daerah, hewan ini bahkan dianggap hama,” ujar Prof. Mirza Dikari Kusrini, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, dalam keterangan resmi di situs IPB University (22/10/2025).
Di Jawa Barat, misalnya, sejumlah kelompok pemburu masih aktif menangkap biawak menggunakan anjing. Hewan tangkapan itu dijual ke pengepul atau dikonsumsi langsung.
Baca Juga: Aqua Disorot Usai Temuan Sumber Air dari Sumur Bor, Pengamat: Bisa Masuk Ranah Pidana
Biawak, antara Predator dan “Pembersih Alam”
Biawak air dikenal sebagai predator oportunistik dan pemakan bangkai, yang berperan penting menjaga keseimbangan ekosistem. Mereka memangsa ikan, reptil kecil, burung, hingga mamalia kecil.
“Biawak juga membantu membersihkan lingkungan dengan memakan bangkai. Tapi ketika populasi predator alami berkurang dan sumber makanan melimpah, mereka bisa masuk ke wilayah pemukiman,” tutur Prof. Mirza.
Fenomena itu kini makin sering terjadi di perkotaan. Beberapa kasus bahkan mencatat biawak memangsa anak kucing di kawasan urban.
Meski tidak termasuk satwa dilindungi berdasarkan Permen LHK P.106/2018, perdagangan biawak air diawasi ketat melalui mekanisme CITES Appendix II. Artinya, ekspor hanya diperbolehkan jika sesuai kuota, memiliki izin resmi, dan disertai kajian non-detriment findings (NDF) yang memastikan aktivitas perdagangan tidak merusak populasi di alam.
Status biawak air di IUCN Red List memang masih Least Concern atau “risiko rendah”, namun Prof. Mirza mengingatkan pentingnya kebijakan berbasis sains.
“Pemerintah perlu berhati-hati. Kuota harus berbasis penelitian lapangan, pemasok harus legal, dan pemburu lokal harus mendapat harga yang adil. Kalau tata kelola diabaikan, bukan hanya ekosistem yang rusak, tapi juga rantai ekonomi masyarakat yang bergantung pada komoditas ini,” ujarnya tegas.
Artikel Terkait
Tak Ada Lagi Harimau Sumatera di Taman Rimba Riau, Si Uni Jadi
Gunakan Sabut Kelapa, Siswa SMA Negeri 1 Yogyakarta Kenalkan Sepatu Anti Bau
Hemat Energi, Gaya Hidup Islami, Ibu Jadi Garda Terdepan Penjaga Bumi
Fenomena Blood Moon 7–8 September 2025, Langit Indonesia Jadi Panggung Kosmik Merah Membara
9 Macan Tutul Lembang Kabur dari Kandang, BBKSDA Ungkap Fakta Mengejutkan di Hutan Lindung Tangkuban Parahu
Bayang-bayang Cs-137 di Cikande: Dari Besi Tercemar hingga Udang Ekspor yang Terseret