Seorang analis media mengamati: "Penentangan Israel terhadap perundingan itu hanyalah tipuan. Tujuan mereka yang sebenarnya adalah membungkam Hizbullah dan PMF dengan kedok kesepakatan, bukan mengkonfrontasi mereka."
Sarannya jelas, Israel menginginkan iklim regional yang lebih tenang untuk terus maju dengan operasi di Suriah selatan, Yaman, dan untuk memberikan tekanan politik di Lebanon dan Irak.
Kesepakatan dengan Iran meskipun tampak kontroversial di media sebenarnya dapat memberi Israel lingkungan yang diinginkannya.
Dalam konteks ini, sikap Israel yang pura-pura menentang diplomasi menjadi semacam dopamin bagi opini publik Iran, memberikan rasa kemenangan sementara medan perang sedang digambar ulang di balik layar.
Namun kali ini, Teheran tampak lebih waspada dari sebelumnya.
Penolakannya terhadap kehadiran media dalam perundingan, dan ancaman untuk meninggalkannya jika prosesnya menjadi performatif, menandakan kewaspadaan yang meningkat.
Iran tidak kalah dalam permainan, ia mendefinisikannya ulang.
Steve Witkoff sendiri merupakan tokoh yang patut dicatat.
Sebelum Oman, ia mencari solusi untuk perang di Ukraina—mengusulkan pembagian negara wilayah timur untuk Rusia, wilayah tengah untuk Kyiv, dan wilayah barat untuk NATO.
Gagasan itu tidak hanya ditolak tetapi juga diejek oleh Kremlin.
NATO di perbatasan Rusia, sekali lagi, mencerminkan kesalahan yang memicu perang.
Sejarah ini telah membuat banyak orang meragukan inisiatifnya di Oman.
Jurnalis Israel Barak Ravid mengatakannya dengan gamblang: "Witkoff mungkin merupakan aset bagi AS, tetapi dia merupakan bendera merah bagi Israel. Dia mengejar kesepakatan yang dapat merusak posisi strategis Tel Aviv."
Saat pembicaraan dimulai, muncul suara baru dalam opini publik Amerika.