HUKAMANEWS Greenfaith – Perubahan iklim bukan lagi isu masa depan, melainkan kenyataan yang mengancam setiap aspek kehidupan manusia saat ini. Dari banjir yang menghancurkan rumah hingga kekeringan yang mematikan sawah, dampaknya terasa nyata.
Adalah fakta bahwa ketidakadilan iklim telah menjadi kenyataan yang dirasakan oleh masyarakat kecil di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, nelayan terpaksa melaut lebih jauh karena degradasi terumbu karang, petani kehilangan panen akibat musim yang tak menentu, hingga komunitas adat yang kehilangan hutan mereka karena ekspansi industri ekstraktif.
Semua ini membuktikan bahwa keadilan iklim bukan sekadar isu global. Ini adalah isu yang lekat dengan kehidupan kita sehari-hari, dan menyangkut masalah hidup dan mati bagi banyak orang.
Di tengah ancaman ini, pertanyaan besar muncul: bagaimana rakyat, terutama mereka yang berada di lapisan paling rentan, dapat mengakses keadilan iklim? Jawabannya ada pada kekuatan solidaritas, advokasi, dan inovasi di tingkat lokal yang kini mulai terhubung ke arus perjuangan global.
Keadilan Iklim Dimulai dari Komunitas
Di Desa Rimba Jaya, Kalimantan Tengah, komunitas Dayak setempat mengambil langkah berani untuk melindungi hutan mereka.
Dengan dukungan organisasi non-pemerintah, mereka mendokumentasikan kerusakan lingkungan akibat deforestasi dan memetakan wilayah adat menggunakan teknologi drone.
Data ini menjadi senjata utama mereka untuk menuntut perusahaan-perusahaan besar yang merusak lingkungan mereka.
“Kami tak punya uang untuk melawan perusahaan itu di pengadilan, tapi kami punya cerita, bukti, dan semangat untuk memperjuangkan hak kami,” ujar Jumaidi, seorang pemimpin komunitas Dayak.
Melalui jejaring lokal dan internasional, perjuangan mereka kini diakui hingga ke tingkat global. Salah satu hasilnya adalah moratorium penebangan hutan di sebagian wilayah adat mereka.
Peran Hukum dalam Keadilan Iklim
Akses keadilan iklim bagi rakyat membutuhkan reformasi hukum yang berpihak pada masyarakat kecil. Pengadilan lingkungan hidup yang progresif dapat menjadi ruang bagi rakyat untuk melawan ketidakadilan.
Contohnya, gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan oleh beberapa komunitas terdampak banjir di Jakarta pada 2020 berhasil memenangkan perhatian publik. Hakim menyatakan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk meningkatkan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Namun, proses hukum seperti ini sering kali panjang dan mahal. Banyak komunitas lokal tak memiliki kemampuan finansial untuk mempekerjakan pengacara, apalagi menghadapi kekuatan korporasi yang didukung oleh lobi politik.