HUKAMANEWS – Menulis tentu bukan sekadar menulis.Terlebih yang ditulis adalah hasil penelitian alias manuskrip yang diperoleh secara utuh dari lapangan.Apalagi menyangkut penelitian antropologi.
Prof. Ward Berenschot, pakar Antropologi Politik Komparatif dari University of Amsterdam, Belanda, hadir secara khusus pada sesi akademisi internasional dalam kegiatan Workshop Penulisan Karya Tulis Ilmiah Internasional, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) pada Rabu, 20 Agustus 2025.
Sangat menarik, kehadiran pakar Antropologi Politik dari Belanda ini menjadi referensi bagi dosen, peneliti, dan mahasiswa untuk memperdalam kemampuan menulis karya ilmiah bereputasi global.
Baca Juga: Merdeka Run 8.0 Siap Digelar di Istana Merdeka, Seskab dan Menpora Pastikan Semua Matang
Terutama saat mengangkat isu-isu strategis seperti gender, BRICS, demokrasi elektoral, politik luar negeri Indonesia, serta komunikasi politik di era media sosial.
Prof. Ward Berenschot menekankan empat aspek penting dalam menulis untuk publikasi internasional yaitu kesiapan riset, ketersediaan anggaran, keunikan tema, dan kegigihan akademisi untuk terus mencoba meski menghadapi penolakan.
“Indonesia memiliki potensi penelitian yang luar biasa. Tantangannya adalah bagaimana menuliskan temuan-temuan itu agar bisa diapresiasi global. Jangan menyerah ketika artikel ditolak, karena itu adalah bagian dari perjalanan akademik menuju kualitas internasional,” ungkap Prof. Berenschot.
Baca Juga: Ini Rekam Jejak Immanuel Ebenezer , Wakil Menteri Tenaga Kerja Tersangkut OTT KPK
Prof. Ward Berenschot juga memberikan dorongan agar karya peneliti yang hadir dalam acara ini lebih mudah diterima di jurnal internasional bereputasi. Pertama, ia menekankan pentingnya memperluas cakupan topik agar lebih kompleks, dengan menambahkan dua atau lebih studi kasus sehingga dapat menarik perhatian editor.
"Kedua, ia juga mengingatkan penggunaan metode tunggal, misalnya hanya mengandalkan wawancara mendalam akan membuat data menjadi kurang kaya. Biasanya data yang dangkal akan ditolak editor jurnal bereputasi. Oleh karena itu, peneliti disarankan mengombinasikan berbagai metode, misalnya wawancara dengan etnografi lapangan, agar data dan analisis lebih komprehensif," tambahnya lagi.
Ketiga, ia menekankan pentingnya framing dalam diskusi akademik. Menurutnya, peneliti harus mampu membandingkan kasus yang diteliti di Indonesia dengan kasus serupa di luar negeri.
Baca Juga: OTT KPK Guncang Kemenaker, Wamenaker Immanuel Ebenezer Diciduk, Dugaan Pemerasan Jadi Sorotan Publik
“Dengan menyoroti perbedaan dan persamaan dengan konteks internasional, diskusi akan menjadi lebih kaya sekaligus relevan bagi pembaca global,” jelasnya.