Agama dan Kebahagiaan

photo author
- Rabu, 26 Februari 2025 | 10:35 WIB
Roehan Utsman, Pengajar Pondok Pesantren Ibnul Qoyyim Yogyakarta
Roehan Utsman, Pengajar Pondok Pesantren Ibnul Qoyyim Yogyakarta

HUKAMANEWS - Agama sering dianggap sebagai sumber kebahagiaan, namun apakah klaim ini selalu benar? Roehan Utsman, pengajar Pondok Pesantren Ibnul Qoyyim Yogyakarta, mengajak kita merenungkan hubungan kompleks antara agama dan kebahagiaan. Meski agama menawarkan kedamaian batin dan makna hidup, kebahagiaan tetap subjektif, dipengaruhi oleh faktor sosial, mental, dan lingkungan.

Tulisan ini mengajak kita memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya berasal dari ritual keagamaan, tetapi juga dari keseimbangan hidup yang harmonis. Berikut catatan lengkapnya.

***

SAYA percaya bahwa agama mampu memberikan rasa bahagia bagi para pemeluknya, karena ajaran agama selalu berorientasi pada pencarian makna hidup, kedamaian batin, dan cara untuk menghadapi semua persoalan hidup dengan lebih menyandarkan diri kepada Tuhan. Ajaran agama juga tidak menonjolkan sikap penghormatan kepada diri sendiri secara berlebihan. Itu adalah sikap sombong yang sangat merongrong sari pati dari sumber kebahagiaan dalam hidup. Namun demikian, kebahagiaan itu sangat subjektif dan bisa sangat berbeda-beda bagi setiap individu, meskipun mereka sama-sama beragama.

Baca Juga: Korupsi dan Ironi Demokrasi, ketika Suara Rakyat Dijual di Pasar Gelap

Bagi sebagian orang, praktik agama dan kedekatan dengan Tuhan memberi mereka ketenangan dan kebahagiaan. Tetapi, ada juga orang yang meskipun beragama, mungkin merasa kesulitan dalam hidup atau mengalami tantangan emosional dan mental.

Jadi, meskipun agama bisa menjadi sumber kebahagiaan bagi banyak orang, itu bukanlah jaminan mutlak bahwa semua orang yang beragama akan merasa bahagia sepanjang waktu. Ada banyak faktor lain yang menyertai sumber kebahagiaan itu, antara lain: dukungan sosial, kesehatan mental, dan keadaan hidup juga sangat mempengaruhi perasaan bahagia seseorang.

Hemat saya, ketika membahas soal kebahagiaan, sebaiknya memperhatikan beberapa hal, antara lain: menghargai hak dan kewajiban antar sesama, menghindari sikap menghakimi diri sendiri maupun orang lain, memupuk rasa syukur, harapan, dan inspirasi, serta menjaga hubungan sosial yang positif.

Martin Seligman kemudian merumuskan sebuah konsep berdasarkan hasil studinya tentang kebahagiaan, yang menyatakan bahwa kebahagiaan terkait erat dengan lima nilai. Lima nilai tersebut menunjukkan bahwa kebahagiaan dapat diajarkan dan dipelajari untuk membantu seseorang mencapai kebahagiaan yang sejati: Kebijaksanaan dan pengetahuan, Semangat dan gairah, Cinta dan kemanusiaan, Keadilan, serta Pengendalian diri (self-control).

Baca Juga: Rahasia Mengapa yang Untung Semakin Beruntung

Sementara itu, menurut Komaruddin Hidayat dalam bukunya Psikologi Kebahagiaan, kebahagiaan bersifat bertingkat-tingkat. Tingkatan tersebut adalah:

  • Tingkatan jasmani: Kebahagiaan ini berkaitan dengan kebutuhan fisik, seperti makan, minum, seks, rasa aman
  • Tingkatan kebahagiaan intelektual (Intellectual Happiness): Kebahagiaan ini terletak dalam jiwa manusia. Kebahagiaan ini lebih abadi dibandingkan kebahagiaan fisik yang cepat berakhir.
  • Moral Happiness: Kebahagiaan yang diperoleh dengan menolong orang lain.
  • Spiritual Happiness: Kebahagiaan tertinggi yang diperoleh manusia, yang muncul ketika ruh dan nur dalam diri seseorang mengarah kepada mencintai Tuhan.

Baca Juga: Kasus Dugaan Gratifikasi Rita Widyasari, KPK Panggil Japto Soerjosoemarno Usai Sita 11 Mobil Mewah dan Uang Rp56 M dari Rumahnya

Berbeda dengan yang lainnya, Imam al-Ghazali dalam bukunya Ihya' Ulumuddin menjelaskan bahwa kebahagiaan itu memiliki lima tingkatan, yaitu:

  • Kebahagiaan akhirat: Kebahagiaan ini merupakan kebahagiaan tertinggi dan kekal. Pada tingkat ini, tidak ada lagi kesedihan atau kemiskinan; yang ada hanya sukacita dan kenikmatan.
  • Kebahagiaan akal budi: Kebahagiaan ini diperoleh melalui kesempurnaan akal dengan ilmu pengetahuan.
  • Kebahagiaan jasmani: Kebahagiaan ini berkaitan dengan memperoleh tubuh yang sehat, badan yang kuat, wajah yang tampan, serta umur yang panjang.
  • Kebahagiaan non-jasmani: Kebahagiaan ini berpusat pada melimpahnya kekayaan material, keharmonisan dalam keluarga, status sosial yang terhormat, serta generasi yang membanggakan.
  • Kebahagiaan atas petunjuk dari Sang Pencipta: Kebahagiaan ini merupakan karunia agung berupa pengawasan, penjagaan, pembimbingan, dan pertolongan-Nya.

Menurut al-Ghazali, kebahagiaan tertinggi hanya dapat diperoleh melalui ketaqwaan kepada Sang Pencipta dan kekuatan diri untuk mengendalikan hawa nafsu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menutup hubungan batin terhadap segala sesuatu yang bersifat profan dan menghindarkan diri dari tipu daya serta kepalsuan dunia.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Sumber: OPINI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Jukung Julak: Rumah Makan yang Menyimpan Ribuan Doa

Rabu, 19 November 2025 | 20:13 WIB

Soal Gelar Pahlawan Soeharto, Saya Berbeda Pandangan

Minggu, 9 November 2025 | 06:05 WIB

45 Tahun WALHI: Gerakan Tanpa Kultus

Jumat, 17 Oktober 2025 | 15:38 WIB

Ketika Para Ibu Sudah Turun ke Jalan

Senin, 31 Maret 2025 | 13:18 WIB
X