“Untuk staf dan reserse, minimal harus S1, syukur-syukur S2,” ujar Mangku Pastika.
Ia membandingkan dengan kepala desa yang kini banyak berlatar pendidikan magister, sementara polisi pembina desa masih lulusan SMA dengan pendidikan singkat.
Menurutnya, polisi yang berhadapan langsung dengan masyarakat harus memiliki kapasitas intelektual, komunikasi, dan empati yang memadai.
Masukan ini memperkuat argumen bahwa reformasi Polri tidak cukup hanya pada peralatan dan teknologi, tetapi juga kualitas sumber daya manusia.
Teladan Kepemimpinan dalam Sejarah Polri
Mahfud MD mencontohkan kepemimpinan Mangku Pastika saat menangani tragedi Bom Bali sebagai gambaran ideal polisi profesional.
Ia menilai keberhasilan penanganan peristiwa tersebut menunjukkan bahwa integritas dan kepemimpinan lebih penting daripada sekadar anggaran besar.
“Pak Mangku Pastika tidak pernah bertanya uangnya dari mana, semua beres dan bisa dipertanggungjawabkan,” ujar Mahfud.
Penanganan Bom Bali bahkan disebut mampu dilakukan tanpa mengandalkan APBN secara langsung.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa reformasi Polri sejatinya pernah hidup dalam praktik, bukan sekadar wacana.
Reformasi Polri sebagai Kebutuhan Mendesak Publik
Mahfud MD mengakui bahwa reformasi tidak hanya dibutuhkan oleh Polri, tetapi juga lembaga negara lainnya.
Namun, karena polisi bersentuhan langsung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat, maka sorotan publik menjadi jauh lebih tajam.
Keamanan, ketertiban, dan rasa keadilan publik sangat ditentukan oleh cara polisi bekerja dan bersikap.