Pembentukan vortex di Semenanjung Malaysia yang berkembang menjadi siklon tropis Senyar di Selat Malaka turut meningkatkan suplai uap air dan memperluas daerah presipitasi.
Fenomena cold surge vortex serta sistem skala meso mempercepat terbentuknya awan konvektif bervolume besar yang kemudian meluapkan hujan deras dalam waktu singkat.
Dari sisi lingkungan, para ahli menegaskan bahwa kerusakan tutupan lahan menjadi faktor yang memperparah besarnya dampak banjir.
Dosen Geodesi dan Geomatika ITB Heri Andreas menekankan bahwa kemampuan tanah untuk menyerap air menurun drastis ketika hutan digantikan oleh permukiman atau perkebunan intensif.
Hilangnya vegetasi menyebabkan limpasan permukaan meningkat sehingga debit sungai naik secara tiba-tiba dan memicu banjir bandang dalam skala destruktif.
Baca Juga: Dua Legislator Mangkir di Kasus CSR BI-OJK, Desakan Paksa dari Publik ke KPK Makin Menguat
Heri juga mengkritisi peta bahaya banjir Indonesia yang dinilai belum akurat karena data geospasial dan pemodelan risiko masih terbatas sehingga menyulitkan penataan ruang berbasis mitigasi.
Opini publik di media sosial menunjukkan kemarahan dan kelelahan emosional karena bencana serupa berulang hampir setiap tahun sehingga memicu tuntutan perbaikan tata ruang dan pengawasan alih fungsi lahan.
Beberapa warganet juga menyuarakan pentingnya early warning system yang lebih adaptif mengingat pola curah hujan ekstrem semakin sering terjadi dalam lima tahun terakhir.
Pengamat kebencanaan menilai bahwa peristiwa ini menjadi peringatan keras bagi pemerintah pusat dan daerah untuk menata ulang manajemen risiko bencana secara lebih ilmiah dan terukur.
Banjir Sumatera kali ini kembali membuktikan bahwa kombinasi cuaca ekstrem dan kerentanan lingkungan dapat menciptakan bencana berskala luar biasa bila tidak disiapkan dengan mitigasi yang kuat.
Proses verifikasi data korban dan perbaikan akses bantuan diharapkan dapat mempercepat pemulihan warga di tiga provinsi terdampak.
Ke depan, publik menunggu langkah konkret pemerintah dalam memperkuat tata ruang, perlindungan hutan, serta sistem peringatan dini agar kejadian serupa tidak terus berulang.***