Di Asia, Filantropi Bukan Sedekah, Ia Warisan Peradaban
Jika melongok daftar Forbes tahun ini, terlihat pola yang menarik: mayoritas donasi besar fokus ke lembaga pendidikan.
Beberapa contohnya:
- Yu Renrong dari Tiongkok memberikan saham bernilai US$ 688 juta untuk universitas di kampung halamannya.
- Robin Khuda menyumbangkan A$ 100 juta bagi mahasiswa perempuan yang menembus dunia STEM.
- Solina Chau membangun asrama khusus perempuan di UNSW dengan sumbangan A$ 30 juta.
Asia bergerak bersama dalam satu narasi besar: pendidikan merupakan mata uang masa depan .
Di sisi lain, publik, terutama generasi muda, semakin kritis. Mereka tak lagi memuji donasi hanya berdasarkan nilainya, tetapi menilai arah, tujuan, dan transparansinya.
Ketika filantropi menyentuh akar masalah, seperti ketimpangan pendidikan, kesenjangan talenta teknologi, atau mobilitas sosial, di situlah kepercayaan tumbuh.
Dan Low tampaknya membaca arah angin ini lebih awal dari banyak orang.
Ketika Beasiswa Menjadi Tiket Keluar dari Kemiskinan Struktural
Di negara berkembang, akses pendidikan bukan hanya ruang belajar; ia menjadi jalan keluar dari lingkar kemiskinan yang diwariskan turun-temurun .
Beasiswa sekecil apapun adalah pintu yang tak bisa dibuka semua orang.
Dengan membantu mahasiswa Indonesia kuliah di luar negeri dan membawa ilmu kembali ke tanah air, filantropi Low ikut dalam arus besar pencegahan brain drain sekaligus penciptaan brain circulation , model mobilitas talenta modern.