“Dugaan keterlibatan itu tidak pernah terbukti. Semua kasus sudah ada proses hukumnya dan tidak terkait dengan Presiden Soeharto,” tegasnya.
Fadli juga menyebut kasus kerusuhan Mei 1998 yang menjadi titik akhir pemerintahan Soeharto tidak menunjukkan bukti adanya keterlibatan langsung dari dirinya.
Tutut: “Boleh saja tidak setuju, tapi jangan sampai ekstrem”
Dalam kesempatan yang sama, Tutut menyampaikan rasa terima kasih keluarga atas penghargaan yang diberikan negara. Ia mengajak masyarakat untuk melihat kiprah ayahnya secara utuh.
“Yang penting kita melihat apa yang telah dilakukan oleh bapak saya dari sejak muda sampai beliau mangkat. Semua perjuangannya untuk kepentingan negara dan masyarakat Indonesia,” ucap Tutut.
Tutut juga mengingatkan agar perdebatan soal masa lalu tak menjauhkan masyarakat dari semangat persatuan.
“Boleh saja tidak setuju, tapi jangan sampai ekstrem. Mari tetap menjaga ketertiban dan keutuhan bangsa,” katanya.
Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto bukanlah hal baru. Usulan ini telah bergulir sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), namun baru disetujui dan ditetapkan pada masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Penetapan itu dituangkan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional yang ditetapkan di Jakarta pada 6 November 2025.
Pemberian gelar ini menandai upaya negara menempatkan Soeharto kembali dalam bingkai sejarah secara proporsional—sebagai bagian dari perjalanan panjang Indonesia yang kompleks.
Meski pro dan kontra masih muncul, momen ini menjadi refleksi bahwa sejarah bangsa tidak hanya diwarnai oleh perbedaan, tetapi juga oleh kesediaan untuk memahami.***