“Kalau pemerintahan sekarang mau menunjukkan komitmen nyata pada pemberantasan korupsi, dukung saja kembalinya mereka. Itu akan jadi pesan politik kuat bahwa negara tidak kompromi terhadap pelemahan KPK,” ujarnya.
Menurut Praswad, Presiden Prabowo memiliki peluang besar memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah yang sempat dinilai melemah pasca revisi UU KPK 2019.
Langkah itu juga dapat menjadi sinyal bahwa pemerintahan baru serius menjaga integritas dan independensi KPK, yang selama ini dipertanyakan banyak kalangan masyarakat sipil.
Di sisi lain, publik menyoroti pilihan Yudi yang memilih tetap di luar sistem.
Banyak warganet menilai langkah tersebut justru memperlihatkan konsistensi moral dan keberanian bersikap.
“Yudi lebih dibutuhkan di luar KPK, biar lembaganya punya cermin,” tulis salah satu komentar di media sosial X (Twitter).
Perdebatan soal eks pegawai KPK ini bukan sekadar persoalan personal, tetapi mencerminkan tantangan besar reformasi birokrasi dan penegakan hukum di Indonesia.
Kasus TWK yang menyebabkan pemecatan 57 pegawai masih menyisakan luka, terutama karena sebagian besar dari mereka merupakan penyidik yang menangani kasus besar, termasuk skandal suap, korupsi pejabat, hingga kasus kelas kakap di BUMN.
Apabila pemerintah membuka ruang bagi mereka untuk kembali, hal itu akan menjadi simbol pemulihan kepercayaan terhadap KPK.
Namun, tanpa pembenahan internal dan jaminan independensi, potensi resistensi seperti yang diungkapkan Yudi masih bisa terjadi.
Keputusan Yudi Purnomo untuk tidak kembali ke KPK adalah bentuk idealisme yang jarang terlihat di tengah iklim politik yang pragmatis.
Ia memilih tetap menjadi “penjaga moral dari luar,” alih-alih kembali ke institusi yang menurutnya belum siap menerima perbedaan pandangan.
Langkah ini juga bisa menjadi refleksi bagi pemerintahan Prabowo-Gibran dalam menunjukkan arah baru pemberantasan korupsi: apakah akan memberi ruang bagi keberanian dan integritas, atau tetap mempertahankan status quo yang penuh kompromi.
Bagi publik, kisah ini menjadi pengingat bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya soal lembaga, tapi juga tentang individu yang berani bersuara meski di luar sistem.***