Kali ini, KPK tampaknya membuka kembali babak baru penyelidikan yang berfokus pada pihak pelaksana distribusi dan mekanisme tender yang berpotensi diselewengkan.
Dari pengalaman sebelumnya, modus penyelewengan bansos kerap terjadi melalui pengadaan fiktif, markup harga, hingga penunjukan langsung tanpa transparansi.
Proses distribusi yang melibatkan banyak pihak membuka celah bagi penyimpangan, terutama ketika pengawasan lemah dan situasi darurat dijadikan alasan percepatan.
Di media sosial, warganet menyoroti langkah KPK ini sebagai bentuk harapan agar “luka lama tak terulang kembali.”
Banyak komentar menyebut, bantuan sosial seharusnya menjadi hak rakyat kecil, bukan ladang bancakan.
“Kalau bansos pun dikorupsi, itu udah kehilangan nurani,” tulis salah satu pengguna X (Twitter).
Sebagian lain berharap KPK tidak berhenti di tingkat pelaksana lapangan, melainkan berani menelusuri siapa yang berada di balik kontrak besar distribusi bansos beras 2020 tersebut.
Data dari Kementerian Sosial (Kemensos) mencatat, program bansos beras saat itu menyalurkan 15 kilogram beras per KPM selama tiga bulan.
Jika ditotal, nilai anggaran nasionalnya mencapai triliunan rupiah. Maka tak heran, proyek ini kini menjadi perhatian serius lembaga antikorupsi.
KPK memastikan akan terus menindaklanjuti setiap temuan yang mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi dalam pengelolaan bantuan sosial.
Penegakan hukum di sektor bansos menjadi penting karena bersentuhan langsung dengan kesejahteraan masyarakat miskin dan kepercayaan publik terhadap negara.
Kasus ini juga menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperkuat transparansi dalam proses pengadaan dan distribusi bantuan sosial di masa mendatang, termasuk penggunaan teknologi audit digital dan data penerima berbasis NIK agar lebih akurat dan akuntabel.
Penyidikan KPK terhadap tiga saksi dalam kasus bansos beras 2020 menjadi sinyal bahwa lembaga antirasuah tidak akan membiarkan praktik penyelewengan yang merugikan rakyat kecil.