Pakar sejarah Universitas Indonesia, Hilmar Farid, menilai repatriasi ini dapat membuka ruang riset baru.
“Artefak yang kembali ke tanah air bisa memberi gambaran lebih utuh soal peradaban Nusantara, mulai dari seni, politik, hingga kehidupan sehari-hari,” katanya.
Respon Publik dan Tantangan
Di media sosial, publik ramai menyambut kabar ini dengan rasa bangga sekaligus penasaran.
Banyak warganet berharap artefak yang kembali tidak hanya dipajang di Jakarta, tetapi juga ditempatkan di museum-museum daerah agar generasi muda bisa belajar langsung dari warisan leluhur mereka.
Namun, ada pula tantangan besar: bagaimana pemerintah mengelola, merawat, dan memamerkan koleksi berjumlah puluhan ribu tersebut.
Pengelolaan yang tidak tepat bisa membuat benda berharga ini rentan rusak atau terabaikan. Karena itu, Kementerian Kebudayaan diharapkan segera menyusun strategi konservasi nasional.
Momentum Diplomasi Budaya
Selain soal warisan sejarah, repatriasi ini mencerminkan strategi diplomasi budaya Indonesia di panggung internasional.
Dengan hubungan yang semakin erat dengan Belanda, Indonesia mendapat posisi tawar lebih kuat dalam memperjuangkan hak-hak sejarahnya.
Di tingkat global, pengembalian artefak juga mengikuti tren dunia, di mana negara-negara bekas penjajah mulai mengembalikan koleksi yang diambil dari tanah jajahan.
Hal ini menandai pergeseran paradigma dalam hubungan internasional, dari sekadar diplomasi ekonomi ke diplomasi memori dan identitas.
Pengembalian 30 ribu artefak dari Belanda ke Indonesia menjadi momen berharga yang bukan hanya soal benda mati, melainkan juga kebangkitan ingatan kolektif bangsa.