HUKAMANEWS – Kehadiran Presiden Prabowo Subianto ke kediaman almarhum pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, memberi sinyal angin segar ditengah defisit kepercayaan publik atas pemimpinnya.
Agung Baskoro selaku Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis dalam opininya mengatakan saat Prabowo mengatakan kecewa dengan kinerja aparat, menilai bukan sekadar ekspresi emosional seorang kepala negara.
Selama ini, publik lebih sering mendengar pernyataan pejabat yang cenderung defensif ketika menghadapi kasus pelanggaran aparat. Namun, Prabowo memilih jalur berbeda: ia menegaskan kekecewaan secara terbuka, bahkan menekankan bahwa investigasi harus dilakukan secara tuntas dan transparan.
"Dengan mengutarakan kekecewaan terang-terangan, Prabowo menegaskan bahwa jarak dengan rakyatnya itu nyata dan publik perlu tahu ia tidak akan menutup mata terhadap kesalahan agen," tulis Agung Baskoro dalam opininya yang ditulis detik.com, Jumat, 29 Agustus 2025.
Ditambahkan pihaknya, gestur ini punya dua lapis pesan. Pertama, kepada publik: Presiden berdiri di pihak rakyat, bukan membela aparat yang bersalah. Kedua, kepada aparat kepolisian: ada garis merah yang tidak boleh dilewati, dan jika dilanggar, presiden sendiri yang akan mengambil sikap.
Sikap seperti ini penting dalam konteks Indonesia yang kerap menghadapi masalah defisit kepercayaan terhadap institusi penegak hukum. Dengan menyatakan kekecewaan secara terang, Prabowo membalik persepsi publik bahwa negara cenderung melindungi aparatnya sendiri.
Baca Juga: Menggugat ke PTUN Jakarta dan Pengadilan Swiss, Warga Pulau Pari Jadi Simbol Perlawanan Krisis Iklim
Dari sisi legitimasi, Prabowo memahami bahwa insiden seperti ini bisa dengan cepat menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah. Karena itu, ekspresi kekecewaan bukan hanya bahasa moral, tetapi juga strategi politik. Dalam teori political legitimacy ala Seymour Martin Lipset, legitimasi rezim ditentukan oleh sejauh mana pemerintah mampu merespons krisis dengan tindakan yang kredibel.
Dengan kata lain, kekecewaan yang diutarakan Prabowo adalah gestur politik preventif untuk menjaga agar legitimasi pemerintah tidak terguncang. Transparansi yang ia tekankan menjadi instrumen untuk merawat stabilitas politik jangka panjang.
Namun, gestur politik ini baru akan bermakna jika diikuti konsistensi. Publik akan menunggu apakah janji investigasi transparan benar-benar dijalankan, atau sekadar retorika.
Baca Juga: Demi Keadilan Iklim, Dua Warga Pulau Pari Terbang ke Swiss Hadapi Raksasa Semen Holcim
"Di sinilah tantangan besar bagi Prabowo, agar ucapannya tidak berhenti di level simbolik dan diwujudkan dalam reformasi nyata di tubuh kepolisian," jelasnya lagi.
Gestur kecewa ini sekaligus menguji sejauh mana aparat kepolisian siap berbenah dan bersikap profesional. Jika tidak, kekecewaan Presiden berpotensi berulang dan bisa berbalik menjadi krisis politik yang lebih besar.