Banyak yang menilai diksi tersebut justru menegaskan adanya kesenjangan antara pejabat dengan rakyat kecil.
“Seharusnya seorang wakil rakyat tidak melabeli masyarakatnya dengan istilah yang merendahkan. Justru DPR ada karena rakyat,” tulis salah satu pengguna TikTok.
Di sisi lain, ada pula netizen yang mencoba menilai ucapan itu dari konteks logika debat, meski tetap mengkritik pilihan katanya.
“Kalau soal logika mungkin ada benarnya, tapi kalimatnya kasar dan menyinggung,” komentar pengguna X.
Respon Publik dan Potensi Dampak Politik
Gelombang kritik ini menambah daftar panjang pernyataan pejabat yang menuai kontroversi di media sosial.
Dalam politik modern, persepsi publik sering kali lebih berpengaruh daripada isi argumen yang sebenarnya.
Menurut pengamat politik dari Universitas Indonesia, yang dimintai tanggapan secara terpisah, bahasa pejabat publik harus lebih hati-hati.
“Kata-kata seperti ini mudah menjadi bumerang. Apalagi di era digital, cuplikan singkat bisa membentuk persepsi luas tanpa konteks penuh,” ujarnya.
Tak sedikit warganet yang bahkan mendesak agar DPR mengevaluasi etika komunikasi para anggotanya.
Baca Juga: Pilih Tetap Loyal ke PDI Perjuangan, Bambang Sebut Pindah ke Partai Lain Cuma Spekulasi
Sebagian lainnya menganggap polemik ini bukti bahwa jarak antara aspirasi rakyat dan sikap pejabat semakin nyata.
Kasus Deddy Sitorus memperlihatkan betapa cepatnya persepsi publik terbentuk di era media sosial.
Satu kalimat bisa memunculkan badai kritik, sekaligus membuka kembali perdebatan tentang hubungan wakil rakyat dengan konstituennya.