Zahra juga mengakui adanya biaya operasional pendidikan (BOP) sebagai pungutan dana tak resmi sebesar Rp 80 juta.
"Semua itu untuk biaya CBT, OSCE, komprehensif, penelitian, publikasi, sampai tesis. Kalau ada sisanya dikembalikan," tuturnya.
Sedangkan aliran uang, ia tidak tahu uang tersebut disampaikan ke mana setelah dikumpulkan oleh bendahara angkatan. Namun, Zahra juga mengaku sempat memarahi adik tingkatnya, termasuk mendiang Aulia, tapi ia membantah telah melakukan kekerasan verbal berlebihan.
"Saya tidak pernah marah-marah, teriak. Kalau laki-laki mungkin ada yang marah-marah," ujarnya.
Dalam sistem PPDS anestesi, jika seorang junior melakukan kesalahan, maka seniornya ikut menanggung akibat. Hukumannya untuk semester 2 biasanya paling sering tambah jaga dan jaga full tiap harinya.
"Biasanya dari senior meminta untuk membereskan adik-adik, artinya dikumpulkan, dievaluasi bersama, itu mengurangi istirahat kami, jadi sama-sama dihukum," jelasnya.
Terkait soal praktik makan prolong, yaitu menyiapkan makanan untuk seluruh residen PPDS semester 1-8. Bahwa tugas itu diberikan ke residen semester 1, dan faktanya, biaya makan itu dikeluarkan dari kantong pribadi residen.
"Jadi biaya itu tidak pernah kita arahkan tugasnya saja. Faktualnya dari kantong mahasiswa semester satu untuk membiayai seluruh residen semester 1-8," ungkapnya.
Ketika ditanya soal kondisi almarhumah Aulia yang merupakan adik kelas bimbingnya, Zara menyatakan Aulia sempat mengeluh sakit kaki, tetapi ia tak punya kewenangan memberi izin istirahat.
Baca Juga: Suara Perempuan dari Pesantren untuk Keadilan Iklim
"Satu sampai tiga bulan pertama masih sama, terus pertengahan bilang kakinya sakit, tapi saya tidak ada kuasa untuk memberi istirahat. Saya sampaikan, coba sampaikan izin sakit," ungkapnya.