Pertemuan langsung antara Nadiem, Jurist Tan, dan Ibrahim Arief dengan pihak Google terjadi pada April 2020 untuk menyusun strategi pengadaan.
Di lapangan, dua pejabat KPA yakni Sri Wahyuningsih dan Mulyatsyah disebut mengarahkan proses pengadaan kepada vendor tertentu, termasuk PT Bhinneka Mentari Dimensi.
Proses pemesanan unit bahkan dilakukan secara mendadak pada malam hari, 30 Juni 2020, di Hotel Arosa, Bintaro.
Pengadaan tersebut dituding sarat rekayasa karena spesifikasi dan harga sudah dikunci sedemikian rupa.
Setiap sekolah dijatah paket senilai Rp88,25 juta untuk 15 unit Chromebook dan satu konektor, tanpa ruang bagi alternatif produk lain.
Dampaknya, Kejaksaan mencatat kerugian negara yang cukup besar.
Dari total proyek senilai Rp9,3 triliun, kerugian ditaksir mencapai Rp1,98 triliun, terdiri dari mark-up harga laptop senilai Rp1,5 triliun dan pembelian lisensi perangkat lunak Chrome Device Management (CDM) sebesar Rp480 miliar.
Yang lebih memprihatinkan, sebanyak 1,2 juta unit Chromebook tersebut ternyata tidak optimal digunakan di berbagai daerah, khususnya wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), karena keterbatasan sistem operasi yang tidak kompatibel dengan kebutuhan lokal.
Keempat tersangka saat ini dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor juncto Pasal 55 KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana.
Publik kini menanti langkah tegas dari Kejagung.
Desakan untuk segera menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka semakin menguat, seiring dengan munculnya fakta-fakta yang menunjukkan perannya dalam desain, komunikasi, hingga pelaksanaan proyek Chromebook ini.
Baca Juga: Dana Pensiun ASN Disikat? KPK Periksa Mantan Direktur Taspen, Ada Jejak Uang Rp1 Triliun
Apakah Kejaksaan akan menjawab ekspektasi publik dengan langkah hukum yang adil dan transparan?
Atau justru publik akan kembali dibuat kecewa karena adanya tarik-menarik kepentingan di balik proses hukum ini?