Salah satu usulan konkret yang diajukan adalah pemberian insentif fiskal bagi pengemudi.
Mulai dari potongan pajak penghasilan, subsidi kendaraan operasional, hingga diskon untuk pembelian suku cadang yang selama ini menjadi beban harian mereka.
Menurut Fahmi, langkah-langkah seperti itu jauh lebih realistis dan bisa dirasakan langsung oleh para mitra pengemudi.
Oraski juga menekankan pentingnya dialog terbuka antara pemerintah, aplikator, dan pengemudi dalam merancang kebijakan transportasi online.
Regulasi, kata Fahmi, perlu dirancang secara proporsional, tidak reaktif, dan tidak menimbulkan ketidakpastian dalam dunia usaha.
“Oraski percaya bahwa kelangsungan ekosistem transportasi online hanya dapat dijaga melalui pendekatan yang rasional, terbuka, dan mengedepankan kepentingan semua pihak,” jelasnya.
Ia menambahkan, pihaknya tidak ingin terjebak dalam isu politik sesaat yang berpotensi mengganggu stabilitas sektor transportasi berbasis aplikasi.
Menurutnya, perjuangan untuk kepentingan mitra pengemudi harus dilakukan melalui jalur yang terukur dan berbasis solusi.
Penolakan dari Oraski ini menjadi bagian dari perdebatan yang terus memanas di tengah wacana pemerintah soal penurunan komisi aplikator.
Di saat sebagian kalangan menganggap langkah ini sebagai angin segar untuk pengemudi, tak sedikit pula yang melihatnya sebagai potensi ancaman terhadap keberlangsungan bisnis transportasi digital.
Dengan respons beragam dari berbagai pihak, keputusan akhir pemerintah tentu ditunggu oleh semua pemangku kepentingan.
Apakah kebijakan ini akan diterapkan, atau justru akan direvisi setelah mendengar masukan dari pelaku industri, termasuk Oraski, masih menjadi tanda tanya besar.
Namun yang pasti, diskusi soal tarif ojol ini belum akan berakhir dalam waktu dekat.***