Tujuannya jelas: mengupayakan penurunan tarif agar produk ekspor Indonesia bisa bersaing lebih baik di pasar Amerika.
Yang cukup signifikan, tarif baru untuk Indonesia ini masih lebih rendah dibandingkan tarif untuk negara tetangga seperti Vietnam.
Vietnam dikenakan tarif 20 persen oleh Trump, sedangkan barang dari negara lain yang masuk lewat Vietnam malah dikenakan tarif lebih tinggi, yakni 40 persen.
Ini memberi sinyal kuat bahwa Indonesia saat ini dianggap sebagai mitra dagang strategis oleh AS, khususnya di kawasan Asia Tenggara.
Baca Juga: Gegara Masuk BRICS Tarif AS ke Indonesia Naik Tajam, Sri Mulyani: Indonesia Tetap Netral dan Terbuka
Bagi pelaku usaha di Indonesia, kebijakan ini bisa menjadi angin segar.
Dengan beban tarif yang lebih ringan, produk-produk ekspor unggulan seperti tekstil, produk pertanian, dan barang manufaktur berpeluang lebih kompetitif di pasar AS.
Namun di sisi lain, pembebasan bea masuk untuk produk AS ke Indonesia juga bisa berdampak pada dinamika pasar dalam negeri.
Meski belum ada rincian lengkap soal kategori barang yang terlibat dalam kesepakatan ini, pemerintah Indonesia dipastikan akan mencermati dampaknya secara menyeluruh, baik dari sisi neraca perdagangan maupun perlindungan industri dalam negeri.
Langkah Trump ini juga disebut-sebut sebagai bagian dari strategi politiknya menjelang pemilu AS 2026.
Dengan membangun narasi sukses diplomasi dagang, Trump tampaknya ingin menunjukkan pada publik bahwa ia berhasil mengamankan keuntungan besar bagi ekonomi Amerika.
Terlepas dari motif politik di baliknya, kesepakatan ini akan membawa implikasi luas di level regional.
Jika Indonesia bisa memanfaatkan celah tarif ini dengan maksimal, potensi peningkatan volume ekspor bisa jadi signifikan.
Kini tinggal bagaimana pelaku industri nasional dan pemerintah mengelola momentum ini agar tidak hanya menguntungkan AS, tetapi juga memperkuat posisi ekonomi Indonesia di mata dunia.***