Tahun 1999 menjadi titik puncak saat ia merilis lagu berjudul Trauma, yang langsung melejit dan meneguhkan posisinya di industri dangdut.
Meski menghindari sorotan publik di masa-masa terakhirnya, diketahui bahwa ia menjalani pengobatan di sebuah klinik operasi di Depok.
Karier panjangnya yang melintasi genre menjadikannya sebagai figur unik dalam industri musik tanah air.
Tidak banyak penyanyi perempuan Indonesia yang mampu membangun jembatan musikal antara pop, religi, hingga dangdut seperti Yunita Ababiel.
Keputusannya berpindah genre bukan hanya strategi, tapi cerminan keberanian untuk tetap relevan tanpa kehilangan karakter vokalnya yang khas.
Wajar jika kabar kepergiannya tak hanya menggugah rasa kehilangan dari para penggemar, tapi juga para musisi yang mengenalnya sebagai sosok penuh semangat dan dedikasi.
Perjuangannya melawan penyakit menjadi pengingat akan ketangguhan pribadi di balik sosok selebritas.
Kabar duka ini pun diiringi doa agar ia mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya dan kelegaan atas perjuangannya selama ini.
Perjalanan Yunita Ababiel patut dijadikan refleksi oleh generasi musisi saat ini.
Baca Juga: Ini Sudah Bulan Juli, Mentan Bilang Distribusikan Beras SPHP. Faktanya Masih Kosong
Fleksibilitasnya dalam berpindah genre menjadi bukti bahwa warna musik tak membatasi seorang seniman untuk tetap bertahan dan dicintai publik luas.
Ia membuktikan bahwa musikalitas sejati mampu menjangkau lintas generasi dan audiens, selama diiringi dengan dedikasi dan kejujuran dalam berkarya.
Selamat jalan, Yunita Ababiel.
Terima kasih atas suara, karya, dan ketulusan yang tak lekang oleh waktu.***