Menurutnya, justru langkah keluar dari pusaran kekuasaan bisa memperkuat citra Jokowi sebagai negarawan sejati.
Wacana Jokowi menjadi ketua umum PSI juga tidak lepas dari konteks yang lebih luas terkait masa depan partai tersebut.
Partai yang sempat gagal lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2024 ini kini mencoba membangun ulang kekuatan politiknya.
Dengan menggandeng figur besar seperti Jokowi, PSI diyakini ingin mengangkat kembali elektabilitasnya di mata publik.
Namun demikian, munculnya nama Jokowi sebagai calon ketua umum juga memunculkan berbagai reaksi dari masyarakat dan pengamat.
Beberapa menilai bahwa keterlibatan mantan presiden dalam dinamika partai yang baru tumbuh bisa menimbulkan kesan politisasi pascajabatan.
"Kalau terlalu dipaksakan ke politik, Jokowi bisa kehilangan posisi moral sebagai tokoh yang dihormati lintas golongan," tegas Efriza.
Dalam konteks ini, pendekatan yang lebih netral dan sosial justru dianggap sebagai strategi yang lebih tepat.
Langkah seperti yang ditempuh oleh Jusuf Kalla melalui PMI dinilai dapat menjaga integritas dan menambah nilai pengabdian di mata masyarakat.
Baca Juga: KPK Tunggu Analisis Jaksa soal Dugaan Firli Bahuri Bocorkan OTT Harun Masiku dan Hasto Kristiyanto
Di tengah meningkatnya polarisasi politik dan kepercayaan publik yang fluktuatif terhadap elite, pilihan jalan sosial bisa menjadi opsi paling rasional bagi tokoh nasional pasca menjabat.
Efriza menekankan pentingnya transisi peran yang elegan bagi mantan presiden.
Menurutnya, jika Jokowi ingin tetap memberi kontribusi positif bagi bangsa, ada banyak cara di luar jalur partai politik yang bisa diambil.
Hal ini juga akan membuktikan bahwa pengabdian sejati tidak selalu harus dilakukan lewat jalur kekuasaan formal.