Dari tiga titik pemusnahan, dua berjalan sesuai rencana, namun ledakan tiba-tiba muncul dari lubang ketiga yang digunakan untuk membuang detonator bekas.
Ledakan tersebut merenggut 13 nyawa dan menjadi insiden paling mematikan dalam sejarah pemusnahan amunisi di Indonesia.
TNI Angkatan Darat menyatakan telah menjalankan SOP secara ketat dan akan membentuk tim investigasi.
Dugaan awal mengarah pada karakteristik amunisi kedaluwarsa yang tidak stabil dan sulit diprediksi perilakunya.
Rangkaian insiden ini mencerminkan masalah struktural dalam sistem pengelolaan bahan peledak di Indonesia.
Mulai dari penyimpanan, pengawasan, hingga proses pemusnahan, tampaknya masih ada celah yang perlu diperbaiki secara sistemik.
Bahkan, DPR pun mulai menyoroti hal ini dan mendesak adanya pemanggilan Panglima TNI untuk menjelaskan situasi.
Tragedi demi tragedi yang terjadi selama 40 tahun terakhir seharusnya menjadi alarm keras bagi semua pihak.
Masalah keamanan amunisi bukan hanya urusan internal militer, tapi sudah menyentuh keselamatan publik secara luas.
Jika tidak ada evaluasi menyeluruh dan peningkatan sistem keamanan, bukan tidak mungkin insiden serupa kembali terjadi di masa depan.
Kini, publik menanti komitmen nyata dari otoritas terkait, agar pengelolaan amunisi dan bahan peledak di Indonesia benar-benar aman, terukur, dan profesional sesuai standar internasional.***