Ia berharap publik bisa belajar dari kasus ini, bahwa ekspresi digital juga memiliki batas hukum dan etika yang harus dijaga.
“Hal-hal kebablasan seperti ini harus dicegah, tapi bukan berarti kita tidak bisa mengedukasi. Harus ada pendekatan yang lebih arif,” ujarnya.
Kasus ini sendiri berada di bawah jeratan hukum Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1), dan/atau Pasal 51 ayat (1) jo Pasal 35 dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 yang merupakan perubahan kedua atas UU ITE.
Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri, Kombes Erdi A. Chaniago, mengonfirmasi bahwa SSS telah resmi ditahan di Bareskrim Polri.
Baca Juga: Usai Penangkapan Mahasiswi ITB Gegara Meme Jokowi Prabowo, ITB Langsung Koordinasi dengan Kepolisian
“Sudah ditahan,” ujar Erdi singkat melalui pesan yang diterima pada Sabtu pagi (9/5).
Kasus ini menjadi catatan penting dalam penegakan hukum digital di Indonesia, yang belakangan memang semakin sering berhadapan dengan konten media sosial yang dinilai melanggar norma.
Namun, munculnya usulan untuk menyelesaikannya lewat keadilan restoratif juga menunjukkan bahwa DPR mulai mendorong pendekatan yang lebih manusiawi dalam menyikapi kasus hukum berbasis ekspresi digital.
Di tengah maraknya penggunaan media sosial sebagai sarana kritik maupun hiburan, penting untuk memahami bahwa kebebasan berekspresi memiliki batas yang harus dihargai bersama.
Namun, penegakan hukum pun idealnya tidak melulu berbentuk hukuman pidana, apalagi untuk pelanggaran yang masih bisa diselesaikan secara dialogis dan edukatif.
Pendekatan keadilan restoratif yang diusulkan dalam kasus ini bisa menjadi preseden baru bagi penanganan perkara digital di masa mendatang.
Apakah aparat penegak hukum akan mengadopsi pendekatan ini masih menjadi pertanyaan besar, namun desakan dari parlemen bisa menjadi pendorong awal untuk perubahan paradigma hukum yang lebih progresif.***