Ia juga menegaskan bahwa ITB tetap mendukung proses hukum yang berjalan sembari memastikan hak-hak mahasiswi tersebut tetap terpenuhi.
Pihak kampus juga melibatkan Ikatan Orang Tua Mahasiswa untuk memberikan dukungan moral dan psikologis.
Kendati demikian, Nurlaela tidak membeberkan secara rinci bentuk unggahan yang dimaksud maupun kronologi lengkap penangkapannya.
Isu ini memunculkan kembali perdebatan soal batas kebebasan berekspresi di media sosial, terutama ketika bersinggungan dengan tokoh publik dan penggunaan teknologi AI dalam produksi konten visual.
Banyak pihak menyoroti bagaimana konten digital yang dibuat dengan kecanggihan teknologi kini bisa berujung pada jerat hukum, tergantung dari persepsi publik dan aparat penegak hukum terhadap nilai yang terkandung di dalamnya.
Di sisi lain, penangkapan ini memicu reaksi beragam di media sosial.
Sebagian pengguna mengkritik langkah aparat sebagai bentuk pembatasan kebebasan berpendapat, sementara yang lain menilai konten tersebut melecehkan sosok publik dan tidak etis untuk dibagikan secara luas.
Kasus ini juga menyoroti semakin tipisnya batas antara kreativitas digital dan pelanggaran hukum di era informasi yang serba cepat dan masif.
Para pakar hukum siber menilai bahwa edukasi literasi digital menjadi semakin penting untuk mencegah kasus serupa terjadi di kemudian hari.
Penggunaan teknologi AI untuk memproduksi konten, termasuk meme atau deepfake, kini berada dalam wilayah hukum yang abu-abu dan menantang sistem perundangan yang masih terus beradaptasi.
Hingga berita ini ditulis, pihak kepolisian masih melakukan penyidikan terhadap SSS, sementara pihak ITB menyatakan akan terus memantau dan mendampingi proses hukum secara menyeluruh.
Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa kebebasan berekspresi di ruang digital tetap harus memperhatikan norma hukum dan etika publik.
Apakah kreativitas digital harus selalu dibatasi oleh ketentuan hukum yang ketat?