HUKAMANEWS - Kebebasan pers di dunia saat ini tengah menukik tajam, termasuk yang terjadi di Indonesia. Pernyataan ini ditegaskan Reporters Without Borders (RSF) saat merilis Indeks Kebebasan Pers Dunia 2025, Jumat 2 Mei 2025.
Dalam rilis tersebut dikatakan bahwa selain masih mengalami kekerasan, pers global juga mengalami tekanan ekonomi.
Organisasi non-pemerintah itu, yang didirikan pada 1985 dan berbasis di Paris, melaporkan bahwa kebebasan pers di dunia saat ini "berada pada titik terendah" dan kondisinya "kritis" karena penurunannya terus berlanjut pada tahun ini.
Dalam pernyataan di situs resminya, RSF mengatakan bahwa di tengah menurunnya kebebasan pers di banyak negara di dunia, ada satu faktor utama yang secara serius melemahkan media yakni tekanan ekonomi.
Indikator ekonomi dalam penyusunan peringkat indeks dengan jelas menunjukkan bahwa media massa kini menghadapi dilema antara mempertahankan independensi pemberitaan dan memastikan kelangsungan hidup mereka, menurut pernyataan itu.
"Ketika media berita terkendala secara finansial, mereka akan terjerumus dalam persaingan untuk menarik khalayak dengan mengorbankan pemberitaan yang berkualitas," kata Anne Bocande, Direktur Editorial RSF, dalam pernyataan itu.
Solusi persoalan tersebut terletak pada kemandirian media secara finansial menjadi syarat untuk memastikan ketersediaan informasi yang bebas dan dapat dipercaya untuk kepentingan publik. Menurut data yang dikumpulkan oleh RSF untuk Indeks Kebebasan Pers Dunia 2025, di 160 dari 180 negara yang dinilai, media mengalami kesulitan keuangan dan bahkan ada yang tidak memiliki anggaran sama sekali.
Di sepertiga dari 180 negara itu, sejumlah media terpaksa ditutup karena kesulitan ekonomi. Kondisi itu terjadi di Amerika Serikat, Tunisia, dan Argentina. Situasi di Palestina bahkan lebih buruk. Di Jalur Gaza, serangan Israel telah menghancurkan gedung-gedung media dan menewaskan hampir 200 wartawan.
RSF melontarkan sinyal indikasi raksasa teknologi global seperti Google, Apple, dan Meta (Facebook) telah merebut pendapatan iklan yang selama ini menjadi penopang hidup media. Total pengeluaran iklan di media sosial mencapai 247,3 miliar dolar AS (hampir Rp407 triliun) pada 2024, meningkat 14 persen dari tahun sebelumnya.
Baca Juga: TikTok Didenda €530 Juta oleh Uni Eropa karena Transfer Data ke China, Ancaman Blokir Mengintai
RSF juga menyebut bahwa platform daring telah menghambat ruang informasi karena ikut menyebarkan konten menyesatkan yang memperkuat disinformasi. Menurut organisasi itu, konsentrasi kepemilikan media di tangan para pembesar politik juga mengancam kemajemukan media di beberapa negara. Di India, Indonesia, dan Malaysia, kata RSF, konglomerat yang memiliki koneksi politik dinilai mengendalikan sebagian besar grup media.
Indeks Kebebasan Pers 2025 yang dirilis RSF menempatkan Indonesia di posisi 127, turun 16 tingkat dibandingkan tahun lalu. Peringkat pertama masih ditempati Norwegia dan peringkat terakhir masih diduduki Eritrea. India (151) dan Malaysia (88) termasuk negara-negara yang indeks kebebasan persnya mengalami peningkatan.***