Ini mencerminkan sikap inklusif negara terhadap hukum adat, hukum Islam, maupun warisan hukum kolonial yang selama ini hidup berdampingan dalam sistem hukum Indonesia.
Menariknya, di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto mengambil sikap berbeda, khususnya dalam konteks korupsi.
Dalam wawancara dengan media nasional, Prabowo menolak penerapan pidana mati untuk koruptor.
Alasannya, hukuman mati bersifat final dan tidak memberikan ruang koreksi jika ternyata terjadi kekeliruan hukum.
Prabowo menilai bahwa dalam banyak kasus, masih mungkin terjadi kesalahan atau bahkan jebakan terhadap seseorang, meski bukti terlihat kuat.
Sebagai gantinya, Presiden mendorong pengembalian kerugian negara dan penyitaan aset hasil korupsi.
Namun, ia juga menekankan agar proses ini tidak merugikan anak atau keluarga pelaku korupsi, karena kesalahan orang tua bukanlah tanggung jawab anak-anak mereka.
Pernyataan Prabowo ini menegaskan bahwa pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan cermat dan tetap menjunjung tinggi keadilan sosial.
Dari dua sudut pandang ini, terlihat bahwa Indonesia tengah mencari jalan terbaik dalam memperlakukan hukuman mati.
Negara tak lagi melihatnya sebagai satu-satunya jalan, tapi juga tidak menutup pintu sepenuhnya.
Dengan adanya regulasi yang lebih ketat dan penuh pertimbangan, serta pendekatan yang lebih manusiawi, sistem hukum kita sedang menuju ke arah yang lebih adil dan bertanggung jawab.
Dan ini penting, bukan hanya demi menjaga prinsip hukum, tapi juga demi menghormati hak asasi manusia dalam konteks yang lebih utuh.***