Tak kalah mencolok adalah dugaan praktik markup kontrak pengiriman yang dilakukan oleh Yoki Firnandi, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
Markup ini kemudian dikaitkan dengan Muhammad Kerry Andrianto Riza, pemilik manfaat PT Navigator Khatulistiwa, yang disebut ikut menikmati keuntungan hasil rekayasa biaya pengiriman.
Maya Kusmaya dan Edward Corne, dua pejabat dari PT Pertamina Patra Niaga, juga tak lepas dari sorotan.
Keduanya diduga menyetujui praktik impor bensin RON 90 namun dijual dengan harga RON 92, sebuah permainan harga yang menyamarkan manipulasi mutu.
Baca Juga: Ahok Diperiksa 10 Jam! Strategi Kejagung Bongkar Skandal Impor BBM Pertamina
Lebih jauh, mereka juga disebut mencampur bensin RON 88 dengan RON 92 dan menjualnya dengan harga lebih tinggi.
Dimas Werhaspati dan Gading Ramadhan Joedo, dua komisaris dari perusahaan swasta yang diduga terlibat dalam pengadaan ilegal, juga masuk dalam daftar tersangka.
Mereka dituding membantu menyusun skema pengadaan minyak mentah dan produk kilang yang bertentangan dengan hukum.
Apa yang terungkap dalam kasus ini menyoroti lemahnya sistem pengawasan internal di Pertamina dan tidak adanya mekanisme kontrol yang mumpuni untuk mendeteksi penyimpangan sejak dini.
Dengan kerugian negara sebesar Rp193,7 triliun, pertanyaannya bukan hanya tentang siapa yang salah, tapi juga bagaimana sistem bisa seburuk ini.
Apakah ini sekadar puncak gunung es dari praktik yang lebih besar?
Masyarakat menuntut proses hukum yang transparan dan adil, tanpa intervensi.
Bukan hanya demi menghukum pelaku, tapi juga sebagai sinyal bahwa negara tidak main-main dalam mengamankan aset strategis bangsa.
Kasus ini bisa menjadi titik balik, atau justru mengulang siklus lama jika tidak disikapi serius.