HUKAMANEWS - Pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) pada 20 Maret 2025 menuai gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat.
Mahasiswa, akademisi, hingga organisasi masyarakat sipil menyuarakan kekhawatiran atas kembalinya dwifungsi militer yang pernah membayangi era Orde Baru.
Demonstrasi pecah di berbagai kota, menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam proses legislasi yang dinilai tertutup dan tergesa-gesa.
Apakah ini langkah maju bagi reformasi sektor keamanan, atau justru kemunduran demokrasi?
Demonstrasi dan Penolakan Massal
Gelombang protes terhadap pengesahan revisi UU TNI terjadi di berbagai kota. Di Yogyakarta, ribuan mahasiswa dan civitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) berkumpul di halaman Balairung UGM.
Mereka menuntut DPR dan pemerintah mencabut revisi yang dianggap mengancam supremasi sipil.
Dalam orasi mereka, tuntutan utama adalah menghentikan segala upaya yang dapat membuka kembali peluang bagi TNI untuk masuk ke ranah sipil.
Di Jakarta, ribuan massa dari koalisi mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil memadati depan Gedung DPR RI.
Mereka membawa spanduk bertuliskan "Kembalikan TNI ke Barak" dan "Tolak Dwifungsi TNI" sebagai bentuk protes terhadap revisi undang-undang tersebut.
Koordinator aksi menyatakan bahwa perubahan dalam UU TNI dapat mengancam prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan sejak Reformasi 1998.
Insiden Kekerasan dalam Aksi Demonstrasi
Demonstrasi di Jakarta sempat diwarnai insiden bentrokan antara aparat keamanan dan massa aksi.