Namun, proses pengesahan yang minim transparansi semakin menimbulkan kecurigaan di masyarakat.
Pertemuan tertutup antara legislator dan pejabat pemerintah di hotel mewah pada 15 Maret 2025 menjadi sorotan publik.
Kritik juga muncul karena revisi ini dianggap melegalkan praktik yang telah berlangsung sebelumnya, di mana perwira aktif menduduki posisi sipil meskipun melanggar UU TNI sebelumnya.
Dampak dari revisi ini terhadap reformasi militer Indonesia dinilai signifikan, terutama dalam hal profesionalisme dan akuntabilitas institusi pertahanan.
Baca Juga: Di Tengah Anjloknya IHSG, RUU TNI Bakal Disahkan Pekan Ini, Seruan Tolak RUU TNI Kembali Bergema!
Kehadiran prajurit aktif dalam jabatan sipil berisiko mengurangi transparansi pemerintahan dan meningkatkan potensi penyalahgunaan wewenang.
Selain itu, perpanjangan usia pensiun bisa menghambat regenerasi kepemimpinan dalam tubuh TNI, yang esensial untuk menjaga dinamika organisasi.
Sebagai negara demokratis, Indonesia harus memastikan bahwa reformasi militer tetap sejalan dengan prinsip-prinsip supremasi sipil dan transparansi pemerintahan.
Partisipasi publik dalam pembahasan kebijakan semacam ini sangat penting untuk menghindari keputusan yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Baca Juga: Ini Bahaya Revisi RUU TNI yang Diendus Imparsial Ambisi Besar Prabowo Kembalikan Dwi Fungsi ABRI
Dalam konteks ini, revisi UU TNI tidak hanya menjadi ujian bagi reformasi militer, tetapi juga bagi komitmen Indonesia terhadap demokrasi.
Apakah revisi ini benar-benar untuk kepentingan nasional atau justru merupakan langkah mundur menuju pola kekuasaan yang lebih otoriter?
Masyarakat sipil harus tetap kritis dan mengawasi implementasi UU ini agar tidak menjadi alat yang mengancam demokrasi.
Pada akhirnya, keseimbangan antara kekuatan militer dan otoritas sipil harus tetap dijaga agar Indonesia tidak kembali ke sistem pemerintahan yang mengekang kebebasan rakyat.