Savic menilai kebijakan ini sebagai bentuk kemunduran reformasi yang telah memperjuangkan pemisahan militer dari ranah sipil sejak 1998.
"Saya kira ini kemunduran dari semangat good governance, pemerintahan yang bersih, pemerintahan yang demokratis dan bertentangan dengan spirit reformasi tahun 98," lanjutnya.
Yenny Wahid: TNI Harus Fokus pada Pertahanan Negara
Senada dengan PBNU, Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid, menekankan bahwa TNI seharusnya tetap fokus pada tugas utama mereka, yaitu menjaga pertahanan negara.
Ia mengingatkan bahwa keterlibatan militer dalam ranah sipil bisa berdampak negatif terhadap kualitas demokrasi di Indonesia.
Baca Juga: Terungkap! Jaringan LPG Oplosan di Bekasi dan Bali, Keuntungan Fantastis, Bahaya Nyata
"Karena itu bisa membawa kerancuan dalam kualitas berdemokrasi kita," ujar Yenny.
Ia menegaskan bahwa jika seorang prajurit ingin masuk ke dalam jabatan sipil, maka harus melepaskan statusnya sebagai anggota militer aktif.
Hal ini untuk menjaga netralitas dan profesionalitas dalam birokrasi sipil.
Perlu Transparansi dalam Revisi UU TNI
Salah satu poin kontroversial dalam revisi UU TNI ini adalah penambahan jumlah lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif, dari semula 10 menjadi 16.
Baca Juga: Bulan Puasa Ramadhan Saatnya Baca Surah Pendek Agar Hidup Termotivasi
Beberapa pos baru yang bisa ditempati oleh TNI aktif mencakup Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Keamanan Laut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Kejaksaan Agung.
Masyarakat sipil menuntut kejelasan standar yang digunakan dalam penempatan prajurit di jabatan sipil.
Yenny Wahid meminta adanya klarifikasi terkait aturan mana yang mengharuskan seorang prajurit menanggalkan status militernya sebelum menjabat di posisi sipil.