HUKAMANEWS - Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, kembali menjadi sorotan setelah didakwa dalam kasus dugaan perintangan penyidikan korupsi Harun Masiku dan suap Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kasus ini semakin menguatkan spekulasi bahwa Hasto kerap menjadikan PDIP sebagai tameng dalam menghadapi proses hukum.
Namun, apakah ini strategi bertahan atau sekadar kepanikan mencari perlindungan?
Hasto menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Jumat (14/3/2025).
Dalam proses hukum yang berjalan, ia kerap mengaitkan persoalan pribadinya dengan partai, termasuk membawa kuasa hukum berbasis PDIP dalam berbagai konferensi pers.
Padahal, kasus ini menyangkut dirinya secara pribadi, bukan partai yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri.
PDIP: Suaka atau Senjata Politik?
Pengamat dari Pusat Studi Antikorupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah alias Castro, menilai tindakan Hasto lebih menyerupai seseorang yang panik mencari pegangan.
Ia berpendapat bahwa Hasto sadar tak banyak opsi perlindungan tersisa setelah hubungannya dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) merenggang dan belum ada kepastian dukungan dari pemerintahan baru Presiden terpilih Prabowo Subianto.
"Kalau Hasto seringkali menyeret-nyeret PDIP, itu refleksi dari seseorang yang dalam tekanan. Ia butuh perlindungan dan siapa lagi kalau bukan PDIP yang menjadi satu-satunya tempat bergantung?" ujar Castro.
Baca Juga: Kolaborasi Lintas Agama, Generasi Muda Jadi Ujung Tombak Mitigasi Krisis Lingkungan
Situasi ini semakin diperkuat oleh pernyataan Hasto sendiri yang kerap mengaitkan perjuangannya dengan nilai-nilai yang diwariskan oleh Bung Karno dan Megawati Soekarnoputri.
Ia menyebut status tersangkanya sebagai bagian dari konsekuensi perjuangannya dalam membela nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Namun, manuver Hasto ini justru bisa menjadi bumerang. Dengan terus menyeret PDIP ke dalam pusaran kasusnya, ia berpotensi merusak citra partai, terutama menjelang tahun politik berikutnya.