“Tetap berada dalam komunikasi aktif dan stand by commander call,” lanjut Megawati dalam suratnya, menekankan pentingnya komunikasi intensif antara kepala daerah dan pengurus pusat PDIP.
Sikap ini juga mencerminkan kehati-hatian PDIP dalam merespons kondisi politik nasional, terutama setelah kasus yang menimpa Hasto Kristiyanto.
Dengan menarik kepala daerah dari retret, PDIP dapat mengontrol narasi politiknya tanpa intervensi dari pihak eksternal.
Efektivitas Retret di Akmil Dipertanyakan?
Di sisi lain, keputusan Megawati ini bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah yang menilai retret di Akmil sebagai langkah strategis dalam meningkatkan kapasitas kepala daerah.
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menyatakan bahwa program ini dirancang untuk memperkuat pemahaman tugas kepala daerah, memberikan arahan strategis, serta memperkenalkan kebijakan efisiensi anggaran.
“Retret kepemimpinan di Akmil lebih efektif dan efisien karena sarana dan prasarana yang ada sebelumnya masih bisa digunakan,” ujar Bima Arya.
Retret ini juga akan menghadirkan berbagai pemateri dari Lemhannas, kementerian terkait, hingga Menteri Keuangan yang akan membahas strategi pengelolaan anggaran daerah.
Dengan demikian, penolakan PDIP terhadap program ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan publik.
Baca Juga: Donald Trump Lakukan Penghematan Di Internal Pentagon
Manuver Politik atau Kebijakan Independen?
Langkah PDIP ini menuai beragam reaksi. Ada yang menilai ini sebagai bentuk kemandirian partai dalam menentukan jalannya sendiri tanpa intervensi dari pemerintah.
Namun, tidak sedikit pula yang melihatnya sebagai strategi politik untuk membangun citra partai yang lebih independen menjelang pemilu mendatang.
Dengan menolak retret di Akmil, PDIP seolah ingin menunjukkan bahwa kadernya lebih baik mendapatkan arahan langsung dari internal partai daripada mengikuti program pemerintah.